Sabtu, 27 November 2010

Amir Syarifuddin (Harahap) : "Ia yang dibuang Sejarah"

Oleh : Muhammad Ilham

Perjalanan hidup para elit politik Indonesia dahulu berbentuk formula "dari penjara ke kabinet", yang terjadi kini pada elite politik adalah "dari kabinet ke penjara" (...... Entah dimana saya baca kutipan ini)

Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Amir Syarifuddin, termasuk kategori yang tak disebut, mungkin sudah dilupakan. Kalau di kota Padang, kala kita bertanya secara acak pada mahasiswa (terutama IAIN), "kenalkah kalian dengan Amir Syarifuddin ?", maka mereka akan menjawab, "kenal, mantan Rektor IAIN Padang dan Ketua MUI Sumbar !". Kebetulan IAIN Padang dan MUI Sumbar pernah dipimpin "sosok genius" bernama Prof. Amir Syarifuddin. Tapi bukan Amir Syarifuddin yang rektor atau Ketua MUI ini. Amir Syarifuddin yang "kita ceritakan" adalah ia yang "entah berada dimana" dalam belantara sejarah anak bangsa (baca : sejarah formal).

Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen. Kakeknya, Ephraim, adalah seorang jaksa beragama Kristen. Ayahnya, Soripada, juga menjadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim. Amir Sjarifuddin Harahap merupakan Perdana Menteri RI yang dieksekusi bangsanya sendiri tanpa proses hukum. Pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo, sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir - berpiyama putih-biru, bercelana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung - bertanya kepada kapten yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Amir Sjarifuddin bersama 10 orang lainnya ditembak satu per satu. Konon, menjelang ia dieksekusi, Amir Syarifuddin masih sempat untuk terus membaca buku. Tanggalnya masih dipersoalkan apakah 27 Mei atau 27 April, tapi yang jelas ia lahir seabad silam di Medan. Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Pada 1945 sampai Januari 1948 keduanya menjadi perdana menteri. Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno-Hatta berkolaborasi dengan "saudara tua dari Negeri Matahari Terbit". Sjahrir dan Amir berjuang di bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Ir Setiadi Reksoprojo, 86 tahun, Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya yang menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda.

Pada awal masa kemerdekaan, unsur tentara terdiri dari berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir diperlukan Tentara Masyarakat. Tentara itu juga butuh pendidikan politik. Pandangan ini bertentangan dengan Hatta, yang melakukan rasionalisasi tentara dari 400 ribu menjadi 60 ribu. Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948, tempat Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir menarik karena berkebalikan dengan yang sering terjadi sekarang. Ia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik menjadi Menteri Penerangan. Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di Negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya, T.S.G Mulia. Pada 1931 ia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda dari Pulau Jawa, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Rekan Amir dalam organisasi ini adalah Dr A.K. Gani, yang tahun ini diusulkan sebagai pahlawan nasional. Pada 1938-1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe. Selanjutnya, Amir juga aktif pada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) bersama M.H. Thamrin.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, kini eksil di Belanda), yang ikut dalam pelarian pada 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga, Amir mengeluar kan tembakan peringatan dan memarahi mereka. "Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat," ujarnya. Dari empat tokoh nasional yang menduduki jabatan tertinggi (presiden, wakil presiden, dan perdana menteri) yang pertama di Indonesia, tiga orang (Soekarno, Hatta, dan Sjahrir) menjadi pahlawan nasional. Sedangkan yang satu lagi, jangankan diberi bintang jasa, biografinya pun tidak boleh beredar semasa Orde Baru. Pada 1984 penerbit Sinar Harapan sempat mencetak tesis Frederick Djara Wellem di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta berjudul "Amir Sjarifuddin, Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan". Namun, buku tersebut terpaksa dimusnahkan karena Jaksa Agung tidak berkenan. Dalam sejarah Indonesia, Amir Sjarifuddin tak hanya dibuang dan dilupakan, tapi juga tidak diakui !!

Referensi : Asvi Warman Adam (2002 & 2006)