Sabtu, 28 November 2009

Merantau : "Genuine Tradition of Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Tersebutlah kisah bahwa sebelumnya raja dipercayai sebagai pemimpin yang tidak mempunyai keturunan sampai dia mati terbunuh. Namun di malam ketika raja terbunuh itu gundiknya meminum air mani raja sehingga dia mengandung dan melahirkan Raja Kecil. Setelah Raja Kecil lahir dia tidak diakui langsung sebagai seorang Pangeran yang akan melanjutkan silsilah kerajaan tetapi dia harus membuktikan kesatriaannya dengan mengembara dan kemudian kembali menakhlukkan kerajaan. Cerita yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sebenarnya dihadirkan untuk mengukuhkan keberadaan raja, peneliti-peneliti asing tentang melayu tidak mengakuinya sebagai sebuah sejarah sebagaimana rakyat setempat mempercayainya” (Secara umum, bagian ini dikutip dari “Raja Melawar”, melayuonline.com).

Merantau kalau ditelusuri akar sejarahnya akan bermuara pada kebudayaan nomaden nenek moyang manusia dalam mempertahankan hidup. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan umum masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada manusia asli di bumi ini yang hadir mambasuik (muncul) dari bumi. Semua manusia dipercayai berasal dari Adam dan kemudian menjadi pengembara keseluruh penjuru dunia seiring perkembangan biakan manusia itu. Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.

Kehadiran Raja Kecil yang penuh mitos sebenarnya untuk mengukuhkan kekuasaannya dan menarik mayarakat untuk mendukungnya. Hal ini sama dengan banyak tokoh yang menyejarah seperti Bundo Kanduang, Iskandar Zulkarnain, Ken Arok, bahkan pemimpin-peminpin masa kini yang garis keturunannya tidak lepas dari orang-orang hebat. Dalam hal ini mitos dapat berfungsi untuk mengukuhkan jati diri seorang pemimpin dan hal ini sangat penting sekali dalam perantauan banyak orang. Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”


Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Budaya merantau memang merupakan suatu budaya rumpun Melayu yang bersifat dinamis dan positif. Budaya ini berperanan dalam membina dan memajukan setiap individu, keluarga dan masyarakat. Ia bukan saja penting untuk mempertingkatkan mutu kehidupan peribadi seseorang, bahkan juga masyarakat, kerana sifatnya yang banyak membantu mereka kearah hidup yang lebih terjamin. Kalau dahulu merantau bagi masyarakat Minangkabau hanyalah kebudayaan laki-laki, namun kini merantau tidak lagi identik dengan laki-laki sahaja. Kini kaum perempuan juga sudah banyak yang merantau sama ada untuk tujuan ekonomi atau pendidikan. Kedua-duanya bermatlamat untuk merobah nasib.

Misi budaya orang Minangkabau telah membentuk corak dan strategi kehidupan mereka di perantauan. Oleh kerana alam rantau sebagai “dunia kedua”, ia hanya bersifat sementara. Belajar dan bekerja bagi mereka di rantau adalah untuk memenuhi misi budaya, iaitu untuk memperkaya alam Minangkabau. Hakekat kerja dalam konteks ini tidak hanya sekedar mencari nafkah untuk mempertahankan hidup (survive) di rantau, tetapi harus menghasilkan sesuatu yang akan dipersembahkan ke kampung halaman, termasuk ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, terdapat sistem yang saling berkaitan dan saling mendorong antara kampung dengan rantau. Untuk dapat hidup dan bertahan, Minangkabau memerlukan rantau. Rantau Bukan hanya sumber dan medan laga untuk mencari penghidupan, tetapi juga sumber untuk mendapatkan inspirasi dan ide-ide baru. Pemikiran-pemikiran dan ide-ide baru tersalur melalui saluran merantau. Setiap perantau yang pulang memberikan effek-effek demonstratif terhadap yang di rumah dengan memberikan gambaran-gambaran yang indah dari kehidupan di rantau. Setiap yang pulang adalah juga “agent of change”, unsur pembaharu. Supaya berfungsi, merantau melembaga. Merantau dijadikan sebagai “rite de passage” bagi membuktikan kedewasaan.

(*) Terima kasih pada Uni Nelmawarni ..... Disertasi dijadikan inspirasi tulisan ini

Jumat, 27 November 2009

Minangkabau : Pusat Naskah Islam Klasik Nusantara

Oleh : Muhammad Ilham

Tradisi penulisan, penyalinan dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkorelasi dengan proses Islamisasi yang terjadi (Uka Tjandrasasmita, 1999:201). Umumnya naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keIslaman yang terjadi di pelbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang dan lain-lain (Hasan Muarrif Ambary, 1995: 166). Dalam kalangan masyarakat Minangkabau, tradisi penulisan dan persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan dilakukan secara terus menerus (kontiniu), seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Mayoritas para ahli sejarah atau sejarawan sepakat bahwa Islam di wilayah nusantara, berkembang sejak awalnya dengan corak atau style tasauf (Azyumardi Azra, 1996; Hamka, 1983; Hasan Muarrif Ambary, 1995; Dennys Lombard, 1999), maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas memuat pembahasan-pembahasan mengenai tasauf, baik yang ditulis oleh para penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah, dengan segala devian tareqatnya.

Seperti yang terjadi di wilayah lain di dunia Melayu-Indonesia, tradisi pernaskahan dikalangan masyarakat Minangkabau mengandung sebuah ”kearifan lokal” (local-wisdom) yang sedemikian kaya dan telah menarik perhatian banyak orang untuk melihat serta mengetahui nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terkandung didalamnya (Oman Fathurrahman, 2000: 34). Kearifan lokal dalam hal ini tentu saja mencakup hal yang sangat luas, yang terkandung dalam naskah-naskah yang ditulis seperti tradisi keber-agama-an, keragaman pemahaman dan berbagai pilihan solusi dalam upaya pemecahan masalah-masalah kultural dan lain-lain, baik yang bersifat teks maupun konteksnya. Di daerah Minangkabau, baik dalam konteks kultural maupun geografis, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran ajaran Islam. Karena Islam sejak awalnya berkembang dengan corak atau pendekatan tasauf, maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas mengandung pembahasan tentang tasauf, baik yang diamalkan oleh penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah. Uniknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Zurniati (2005: 9-11), di Minangkabau perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat ini terjadi secara sistematis melalui surau-surau.

Jadi tidaklah mengherankan apabila pembahasan mengenai sejarah Islam di Minangkabau, surau menempati posisi yang signifikan, termasuk didalamnya ketika membahas tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah Islam. Dalam bahasa Oman Fathurrahman (2000: 36), surau-surau di Minangkabau dapat dianggap sebagai ”skriptorium” naskah, tempat dimana aktifitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung. Hal ini justru menguntungkan dalam proses penyelidikan, karena pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Minangkabau ini membuat keberadaan naskah-naskah tersebut mudah ditelusuri, karena mayoritas surau-surau tersebut hingga saat sekarang masih banyak dijumpai. Kendatipun kondisi dan fungsinya tidak seperti pada awal perkembangannya sebagai centre of excellence keilmuan Islam. Berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan di Minangkabau ini tampaknya masih berlangsung hingga saat sekarang, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Sejumlah naskah-naskah Syattariyah periode akhir abad ke-20 Masehi yang dijumpai, merupakan salah satu betapa tradisi tersebut masih terus berlangsung seiring dengan masih mengakar dan terus berkembangnya Islam tareqat, khususnya tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau ini.

Mempertimbangkan persebaran-persebaran tareqat-tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiah di Minangkabau yang demikian intensif, serta memperhatikan fungsi naskah-naskah keagamaan sebagai media untuk mentransmisikan berbagai ajaran tareqat tersebut, dan juga berdasarkan kepada beberapa beberapa asumsi dasar dari para peneliti-peneliti terdahulu yang cukup intens mengkaji permasalahan naskah-naskah Islam Minangkabau, maka bisa diasumsikan bahwa naskah-naskah keagamaan (Islam) di Minangkabau ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melakukan proses inventarisasi dan identifikasi naskah-naskah ini, bahkan bila memungkinkan, dilanjutkan dengan proses penelaahan akademik terhadap makna kontent teks dalam upaya pengayaan epistimologi keilmuan pernaskahan.

Dalam konteks Sumatera Barat, perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat-tasauf ini secara sistematis melalui surau-surau. Tidaklah mengherankan kemudian, jika sejauh menyangkut telaah atas berbagai hal yang berkaitan dengan Islam periode awal di Sumatera Barat, peran surau sangatlah signifikan (Azyumardi Azra, 1988 dan 2003), termasuk ketika masuk dalam pembahasan tentang tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaannya. Pada dasarnya, pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Sumatera Barat ini pada gilirannya sangat mempermudah upaya penelusuran keberadaan naskah-naskah tersebut, karena surau-surau itu sendiri hingga sekarang masih banyak dijumpai. Akan tetapi dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah keagamaan tersebut, apalagi membaca dan memahami secara akademik-epistimologis dan memanfaatkannya, seringkali menemui hambatan, baik naskah-naskahnya yang dikeramatkan hingga tidak boleh diakses oleh sembarang orang maupun karena naskah-naskah tersebut telah rusak dimakan oleh usia. Tentu saja, upaya identifikasi dan inventarisasi atas naskah-naskah tersebut telah pernah dilakukan, terutama naskah-naskah Islam Minangkabau yang berada di luar negeri, lebih khususnya lagi di Belanda. Sejumlah katalog yang pernah ditulis, kendati tidak semuanya dikhususkan pada naskah-naskah keagamaan Islam saja, melainkan juga naskah-naskah lainnya seperti sastra dan lain-lain. Naskah-naskah yang pernah diteliti seperti yang dilakukan oleh van Ronkel (1921) yang mencatat tidak kurang daripada 257 naskah dengan judul tersimpan di Perpustakaan Universiti Leiden (Chambert-Loir & Oman Fathurrahman, 1999: 173-176). Disamping itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Teuku Iskandar (1999) yang juga mencantumkan kembali naskah-naskah Minangkabau yang pernah dicatat oleh van Ronkel diatas dengan beberapa tambahan koleksi baru.

Sementara itu, naskah-naskah yang ada di Minangkabau yang pernah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ali Hj. Wan Mamat (1995) yang melakukan pendokumentasian naskah-naskah Melayu di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang juga menyebut beberapa naskah Melayu di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Sedangkan Wibisono dkk. (1989) menyelidiki tentang naskah-naskah keagamaan Islam Minangkabau di beberapa masjid dalam perspektif arkeologis. Disamping itu, beberapa orang peneliti daripada Fakulasi Adab IAIN Imam Bonjol Padang (Rusdi Ramli dkk., 1997) dan dari Universitas Andalas Padang (Muhammad Yusuf dkk., 2001) memberikan informasi tambahan keberadaan naskah-naskah keagamaan secara ”grand tour”, walaupun tidak semua naskah boleh teridentifikasi. Menurut Ramli dkk. serta Yusuf dkk., ada beberapa daerah di Minangkabau yang merupakan ”enclave” naskah-naskah Islam Minangkabau diantaranya Kampung Lubuk Gunung Gadut 50 Kota, Taram 50 Kota, Batipuh Padang Panjang, Bingkudu IV Angkat Canduang, Tiaka Payakumbuh, Kuranji Padang, Pariangan Batusangkar, Pauh IX Padang, dan Kurai XIII Bukittinggi. Umumnya naskah-naskah tersebut berada ditangan personal. Sedangkan surau-surau yang masih menyimpan naskah-naskah Islam Minangkabau tersebut diantaranya surau Bintungan Tinggi nan Sabaris Pariaman, surau Tigo Jorong nagari Kudu Gantiang Barat kec. V Koto Kampuang Dalam Pariaman, surau Tandikek Pariaman, surau Padang Japang kenagarian VII Koto Tagalo kec. Guguak 50 Kota, surau Balingka kec. IV Koto Agam serta surau Batang Kabuang dan Surau Paseban di Koto Tangah Padang.

Diasumsikan masih banyak lagi naskah-naskah yang bertebaran di berbagai daerah baik yang bersifat person maupun institusi-surau. Apalagi bila diperhatikan bahwa persebaran naskah-naskah tersebut baru fokus pada beberapa daerah saja seperti sekitar daerah Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Padang Pariaman, Kota Padang, Batusangkar dan Tanah Datar. Sementara itu, daerah-daerah lain masih belum teridentifikasi naskah-naskah Islam Minangkabau ini.

Ketika Hukum Tak Berpihak

Oleh : Muhammad Ilham

Ada rasa nelangsa dan bosan di hati saya, ketika menonton TV akhir-akhir ini. Sebuah tontonan aplikasi hukum yang ”vulgar” .......... mulai dari kasus Bibit-Chandra, kriminalisasi KPK, ”pengakuan-fenomenal” Williardi Wizard dalam kasus Antasari Azhar, ”kekebalan” Anggodo Widjoyo, ”eksklusifnya” saksi Rhani Juliani, ”ketoprak” kasus Bank Century, ”dagelan” Kasus Suap Pemilihan Deputi BI dan sejenisnya yang membuat gigi saya sedikit ”aus” karena geregetan, sebuah dagelan yang tidak bisa saya cerna secara logika rasional saya (mungkin saya ”dianggap gila” oleh para penegak hukum yang selalu menuhankan ”logika-formal-yuridis” dan mengenyampingkan nurani dan suasan bathin sosial). Disisi lain ....... tragedi hukum orang kecil kembali kembali membuat saya seakan-akan ingin ”membakar” Indonesia. Karena kelaparan, secara sosiologis ini adalah kesalahan struktural – kemiskinan karena negara tak bisa mengatasi kemiskinan tersebut), ada yang mencuri satu karung buah seharga Rp. 10.000,- dan kemudian satu keluarga ini diproses dengan ”gagah berani” dan mempraktekkan jargon Jusuf Kalla dengan baik – ”lebih cepat-lebih baik” oleh pihak penegak hukum. Tuntutan hukuman 2 hingga 5 tahun-pun disandangkan oleh para penegak hukum pada mereka. Ada yang mengambil buah semangka (karena ada link dengan aparat hukum) si pengambil buah Semangka ini dijebloskan dalam tahanan plus gigi rontok akibat pukulan si penegak hukum (dan lucunya ...... pukulan ”tanpa lawan” ini tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum). Konon, si penegak hukum minta Rp. 1 Juta untuk uang ”damai” – dan ini kemudian tidak diakui oleh si penegak hukum dengan berbagai dalih yang ujung-ujungnya ......... mana buktinya ? (Tapi saya berani bertaruh ....... Tanyalah pada ”manusia Indonesia” dari Sabang sampai Merauke, mana yang berbohong ..... jawabannya 100 % PASTI si penegak hukum). Kasus Nenek Minah adalah salah satu contoh kasus paling ”memiriskan”.

Tiga biji kakao telah memasukan ibu Minah ke dalam penjara. Dengan segala kesederhanaannya, ibu Minah menerima putusan yang disampaikan oleh majelis hakim. Ironis memang, tapi itulah hukum. Hukum memang tidak kenal kaya atau miskin, besar atau kecil, kota atau desa, laki atau perempuan. Hukum hanyalah untuk hukum, ia bersifat universal. Tak bu Minah, bukan juga Anggoro Widjoyo, atau yang lainnya. Semua orang memang harus patuh dan tunduk pada hukum. Namun demikian, sebuah kejadian melawan hukum harus juga memperhatikan faktor sosio-antropologisnya. Untuk kasus besar yang memberikan dampak sangat besar, tentu tak bisa diabaikan. Tapi, bagi kasus yang hanya melibatkan tiga butir kakao haruskah berurusan dengan pengadilan. Apakah kesalahan seperti itu tak bisakah dimaafkan. Bukankah pencurian tiga buah kakao, apalagi buah tersebut tidak sempat dibawa pulang harus di meja hijaukan ? Tak bisakah perkara tersebut diselesaikan dengan cara kekeluargaan, apalagi motif pencurian tersebut hanya untuk dijadikan bibit. Atas perbuatannya itu, pengadilan menghukum bu Minah 1,5 bulan. Dengan segala kepasrahaannya, bu Minah menerima hukuman tersebut.

Ada satu pelajaran menarik yang patut kita ambil dari kasus ini, bu Minah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada perusahaan kakao tersebut. Hal ini sangat jarang sekali terjadi dilakukan oleh para petinggi kita yang sudah jelas berbuat salah. Para petinggi tersebut yang umumnya pemimpin, selalu berusaha mengelak tuduhan yang diberikan. Walapun sudah jelas-jelas mereka yang bersalah. Namun, dengan segala daya upaya mereka mengelanui hukum dan aparat penegak hukum agar mereka terbebas dari jeratan hukum. Sebuah contoh yang sangat memalukan dari para pemimpin kita. Hukum adalah hukum, dan kesalahan tetap kesalahan. Sekecil apapun kesalahan itu harus diselesaikan secara hukum. Demikian pula dengan tindakan pencurian. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah balasan hukum adalah menghukum. Apakah cara-cara penyelesaian kekeluargaan juga bukan termasuk penyelesaian hukum ? Kita memang tidak membela tindakan pencurian yang dilakukan oleh Bu Minah tapi proses yang dilakukan oleh penegak hukum haruskan selalu berakhir dengan pengadilan. Tidak bisakah penyelesaian kasus seperti yang dialami oleh bu Minah dilakukan dengan cara-cara yang lebih sederhana dan mudah, serta tidak harus dilimpahkan ke pengadilan.

Mungkin maksud perusahaan tersebut untuk member pelajaran kepada masyarakat yang lain, bahwa dengan mencuri kakao tiga bijipun mereka bisa dihukum. Betul memang, tapi kita juga perlu bertanya, apakah selama ini perusahaan tersebut telah membina masayarakat disekitarnya ? Apakah kejadian tersebut telah terjadi berulang kali, atau bahkan kebun perusahaan tersebut hancur lebur karena dicuri masyarakat ? Tragedi buah kakao yang menghukum bu Minah memang menjadi pelajaran bagi penegakkan hukum di negeri ini. Dengan proses yang demikian cepat, diharapkan semua perkara hukum di negeri kita ini dapat dilakukan secara adil. Jangan hanya keadilan itu berlaku bagi orang kecil atau orang besar saja. Tapi diharapkan semua proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kasus ini merupakan contoh bagi aparat penegak hukum, bahwa sebesar dan seberat apapun sebuah kasus tidak boleh di rekayasa demi kepentingan pribadi dan golongannya.

Ohhh Tuhan Robbi Izzati .......... kutuklah orang yang mempermainkan hukum lebih dari kutukan ibu Malin Kundang, letakkanlah mereka di neraka Paling Jahanam !

Sabtu, 21 November 2009

Dari Film "KIAMAT 2012"

Oleh : Muhammad Ilham

Hingga tulisan ini diposting, saya belum pernah menonton film ”2012” secara utuh. Film yang telah diharamkan Majelis Ulama Indonesia (?) ini, menjadi perbincangan hangat. Inilah satu-satunya film yang belakangan ini menarik minat dan analisis dari hampir seluruh masyarakat dari berbagai strata sosial. Anak muda yang biasanya suka bicara film-film melankolik-platonik, sudah ”riuh-rendah” mengagumi film besutan Roland Emmerich, sutradara berdarah Jerman ini, tanpa mau terikat dan dipusingkan oleh pertimbangan-pertimbangan teologis. Kalangan intelektual-pun mulai ”terbelah” antara kekaguman kreasi anak manusia dengan kekhawatiran akan gugatan norma teologis. Tapi sudahlah, bagi saya bukan zamannya untuk haram-haraman.

Bagi saya, itu adalah tantangan. Kehadiran film 2012 adalah sebuah Sunatullah yang harus direspon dengan baik oleh ”kita” yang mengaku orang muslim. Memvonis bahwa film 2012 meracuni dan menggugat sendi aqidah, justru bisa menjadi counter-produktif. Orang justru akan makin penasaran dengan film tersebut. Buktinya, ketika MUI mengomentari film 2012 dengan wacana ”haram”, justru pada pemutaran perdananya, penonton tak hanya antre di gedung bioskop. Mereka rela menunggu giliran mendapatkan tiketnya. Hampir semua gedung bioskop di Jakarta yang memutar film ini panen penonton. "Pemberitahuan. Tiket Pertunjukan Flm 2012 untuk Hari Ini Sudah Habis,” begitu bunyi pengumuman di loket XXI Djakarta Theatre, Jalan M.H. Thamrin, Jarta Pusat (seperti yang dilansir oleh RCTI). Tak hanya di Indonesia, bahkan di belahan dunia lain pun Film Kiamat 2012 yang dibintangi John Cussack ini menyihir banyak orang. Film itu mengantongi pendapatan sebesar USD 225 juta dari penjualan tiket di seluruh dunia. Angka itu, menurut Contactmusic, Senin 16 November 2009, sudah melebihi biaya produksinya yang USD 200 juta.

”Gempa maha hebat mengoyak kulit bumi. Jembatan putus, jalan terbalik. Gedung-gedung pencakar langit runtuh bak istana pasir. Dari perut taman Yellowstone, Wyoming, Amerika, muncrat jutaan kubik lahar berterbangan seperti bola api. Gelombang laut ganas menggulung daratan hingga ke Himalaya. Gunung-gunung merapi meletus. Bumi yang sudah berusia 4 miliar tahun ini pun tergambar bak rongsokan. Kiamat !!”. Film ini sebenarnya mencoba melahirkan kiamat menurut ramalan Suku Maya yang kalendernya berakhir pada 2012. Menjadi heboh karena bertepatan dengan badai matahari yang ditaksir terjadi pada tahun yang sama. Sejumlah ramalan lain juga dicocok-cocokkan agar sejalan dengan tahun ini. Sebelum film ini muncul, publik sebetulnya telah heboh oleh buku pengetahuan populer berjudul Investigasi Akhir Zaman 2012, karya Lawrence E. Joseph. Dia Ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Corporation, New Mexico, Amerika Serikat. Pada bukunya, terjalin unsur ramalan Suku Maya itu dengan pelbagai penelitian ilmiah soal astronomi. Diantaranya, cocok pula dengan perkiraan badai matahari dan sejumlah bencana yang telah terjadi di bumi. Meski terkesan agak ragu, dia meramalkan akan terjadi bencana besar yang meluluhlantakkan bumi pada 2012.

Alkisah, sekitar tahun 250-925 M, hiduplah Suku Maya, di sepanjang pantai utara Semenanjung Yucatan, Meksiko. Mereka terkenal cerdas. Ilmu astronominya kompleks dan akurat. Semua itu terlihat dalam 20 bentuk kalendernya. Lawrance dalam bukunya itu menyebutkan kalender bangsa Maya ini mencatat pergerakan matahari, bulan, planet, masa panen, siklus kehamilan wanita, hingga siklus serangga. Dan jangka waktunya, dari 260 hari hingga 5.200 tahun lebih. Misalnya, kalender 260 hari ini mewakili kehamilan wanita dan juga jumlah hari planet Venus terbit pada pagi hari setiap tahunnya. Sedangkan 5.200 tahun adalah kalender panjang suku Maya. Periode ini disebut satu matahari, tahun surya. Perhitungan satu tahun di suku Maya hanyalah 360 hari, sisanya dianggap di luar waktu. Jadi satu tahun surya, adalah 5.125 tahun. Pergantian tahun matahari inilah yang dianggap akhir zaman. Menurut perhitungan suku Maya, sekarang ini adalah masuk tahun keempat matahari. Jadi mereka sudah melewati tiga tahun matahari. Mengawali tahun matahari dianggap sebagai kelahiran, jadi ada darah dan penderitaan. Tahun keempat matahari ini dimulai sejak 0.0.0.1 (13 Agustus 3114 sebelum masehi). Artinya masa matahari ini hanya bersisa tiga tahun lagi. Bangsa Maya menuliskan 13.0.0.0 (21 Desember 2012). Di akhir tahun matahari, suku Maya percaya, sebagai hari berakhirnya peradaban umat manusia.

Dua penganut agama besar di dunia seperti Islam dan Kristen tak berani membenarkan jadwal kiamat itu. Bahwa di akhir zaman nanti alam semesta hancur, mereka tak membantahnya. Menurut ajaran Islam, soal kiamat berpedoman kepada Al-Quran, dan hadis Rasulullah SAW. “Al-Quran menyebutkan, kiamat adalah ilmu dan ketentuan Allah, tak satupun manusia mengetahuinya, bahkan termasuk Rasulullah dan malaikat.” kata Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Aminudin Yakub. “ Umat Kristen juga percaya dengan kiamat. Menurut Pastur Setyo Wiboyo, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dalam perspektif Kristiani sudah jelas bahwa Yesus mengatakan tidak ada satu orangpun yang tahu mengenai kapan dan bagaimana kiamat itu. “Malaikat juga tidak tahu, putra atau Yesus sendiri juga tidak tahu. Jadi yang tahu hanya Allah Bapa,” katanya. Tapi sudahlah ............. alangkah lebih baiknya, film di-counter dengan film sejenis atau diskusi yang lebih akademik dengan bungkusan teologis. Kehadiran ”film” Rambo dan sejenisnya, setidaknya bisa memberi pelajaran bagi kita. Terlepas film Rambo merupakan salah satu bentuk justifikasi paling vulgar dari kekalahan Amerika Serikat dari Vietnam, namun film Rambo dan sejenisnya mampu mempengaruhi opini masyarakat (setidaknya : yang menonton), bahwa Amerika Serikat tetap unggul. Hicks.

Insert : Bilboard Film 2012 dan Kalender Suku Maya (Foto : www.okezone.com)

Kamis, 19 November 2009

Seandainya Jusuf Kalla Ada

Oleh : Muhammad Ilham

Sebagai Presiden yang konstitusionalis, saya respek terhadap SBY. Mungkin sebagai anak bangsa, baru kali ini saya "bangga" dengan iklim demokrasi yang sangat demokratis terjadi di negara besar dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Siapa yang bilang orang Islam tidak bisa melahirkan sistem sosial politik yang demokratis ?. Pemutaran Rekaman "fenomenal-menghentakkan" di Mahkamah Konstitusi, merupakan salah satu indikator bagaimana bebas dan transparannya iklim demokrasi Indonesia - ditonton dan didengar oleh seluruh rakyat Indonesia. Amerika Serikat yang mengaku sebagai kampiun demokrasi, dalam sejarahnya belum pernah menyelenggarakan "event" ala Mahkamah Konstitusi kemaren. Demikian juga, ketika Rekomendasi Tim 8 diserahkan oleh Adnan Buyung Nasution cs. kepada SBY ........ SBY justru meminta agar Tim 8 mempublikasikannya kepada publik, padahal beliau belum membaca dan menelaahnya. Padahal sebelum Rekomendasi Tim 8 ini rampung, berbagai statement dari anggota Tim 8 di berbagai media massa banyak dikecam oleh berbagai pihak, "ini bukan konsumsi publik", demikian alasan mereka. Tapi justru SBY mempertegas bahwa publik justru harus lebih dahulu tahu dibandingkan beliau. Ada proses pembelajaran demokrasi disini.

Namun, kekaguman saya pada SBY "tercederai" oleh ketidakmampuannya memanfaatkan momentum untuk bersikap tegas. Konstitusionalis sangat bagus ........ namun, etika dan nurani keadilan justru diatas segala-galanya. Dalam bahasa politik Islam, Ijtihad Politik-pun dalam kondisi tertentu harus dilakukan apabila berkaitan dengan kepentingan publik. Seorang pemimpin dipilih, apalagi dipilih secara langsung, tentu saja untuk tujuan melayani pemilihnya. Itulah moralitas tertinggi yang harus dipegang seorang pemimpin. Karena itu, pejabat publik harus siap didorong-dorong oleh pemilihnya untuk melaksanakan kehendak pemilihnya. Jika pejabat tidak siap didorong-dorong untuk menjalankan keinginan pemilihnya, tidak ada lagi legitimasi baginya menempati posisi itu.

Dia harus secara sukarela minggir karena tidak lagi mampu melaksanakan keinginan pemilihnya. Dalam pemilihan umum, seorang calon pejabat publik mendorong-dorong pemilih untuk memilihnya. Dia menebar berbagai janji melaksanakan segala hal yang menjadi keinginan rakyat. Karena itu, tatkala rakyat menagih janji dan mendorongnya melaksanakan keinginan rakyat, jangan menamengi diri dengan intervensi. Rekomendasi Tim 8 disusun secara runtut dengan fakta yang sudah diverifikasi serta dilengkapi aturan hukum yang menjadi landasannya. Sebenarnya Presiden tinggal melaksanakan. Presiden Yudhoyono seperti sendirian menghadapi situasi pelik ini. Berbeda dengan lima tahun silam ketika Jusuf Kalla menjadi wakil presiden. JK selalu pasang badan ketika pemerintah diserang dari berbagai penjuru mata angin.