Minggu, 25 Oktober 2009

Jusuf Kalla dan GAM (Baca : Gabungan Aceh Makassar)

Ditulis Ulang Oleh : Muhammad Ilham


Walau untuk aspek tertentu, saya tak setuju dengan Jusuf Kalla, namun untuk beberapa hal, JK sungguh fenomenal. Setidaknya, untuk jabatan Wakil Presiden, beliau mampu menjadi wakil yang betul-betul “Wakil Presiden”. Walaupun dengan nada sedikit menggurui dan terkesan ada nuansa sinis, JK pernah berkata kepada “lawan satu levelnya”, Prof. Boediono yang terpilih menjadi Wakil Presiden Pilpres yang lalu …….. “Wakil Presiden jangan jadi Ban Serep”. Ucapan itu setidaknya telah mampu merubah paradigma politik masyarakat Indonesia ke depan. Walau, sekali lagi walau, JK juga harus mengerti bahwa posisinya yang agresif kala menjabat Wakil Presiden, secara politik tidak terlepas dari “daya tawar politiknya” yang sangat tinggi, ia jadi pengurus kunci Partai Golkar dan kemudian menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Bak kata kawan saya, ya …. Iyalah, kalau JK tanpa Golkar, mana mungkin ia bisa menelikung, acrobat dan segesit itu.


Tapi, sudahlah……. Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai baik seorang tokohnya. Tokoh yang baik adalah personal yang memberikan inspirasi buat orang lain. Dan pada diri JK, ia adalah tokoh besar dan ia inspirator. Banyak sumbangsih besar yang ia berikan buat negara ini. Salah satu diantaranya adalah keterlibatan intens beliau dalam Perdamaian Aceh. Berikut saya kutip artikel Nezar Patria (dalam vivanews.com/26-10-2009). Perang, kata Sir Henry Maine, adalah praktik kuno manusia. “Tetapi, perdamaian adalah sebuah penemuan modern,” tulis hakim Inggris itu, pada suatu masa di Eropa pertengahan abad ke-19. Perdamaian, boleh jadi adalah ‘penemuan modern’. Atau juga bukan. Di tengah perang yang setua usia peradaban manusia, perdamaian adalah usaha tak mudah. Di Aceh, misalkan, orang kerap mengingat: pada satu masa, perdamaian adalah sebuah kemustahilan. Selama tiga dekade, politik di sana digerakkan amarah. Kata-kata digantikan senjata. Atas nama keadilan, konsep tentang “Indonesia” digugat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Indonesia,” kata Hasan Tiro, sang pemimpin pemberontakan itu, “tak lain konsep kolonialisme Belanda, yang diteruskan oleh penjajah Jawa”. Hasan Tiro berhasrat melanjutkan kedaulatan lama itu: negara Aceh yang gemilang seperti pada zaman Iskandar Muda. Tentu, seperti kita ketahui, rezim Orde Baru membuyarkan mimpi itu. Lalu, selama tiga dekade, Aceh tenggelam dalam pergolakan bersenjata. Sampai tatkala rezim berganti, tapi penguasa baru hasil reformasi tak juga berhasil menghentikan darah tumpah di sana.

Maka, di Aceh, orang juga mengenang sosok Jusuf Kalla. Pada 15 Agustus 2005, saat termometer jatuh di bawah nol di Helsinki, dia telah melelehkan sesuatu yang lama beku antara Aceh dan Jakarta: kepercayaan. Kalla memang tak di sana, saat naskah damai itu diteken kedua pihak. Dia, bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyaksikan adegan bersejarah itu dari Jakarta. Mungkinkah perdamaian Aceh itu tanpa Kalla? Dia seorang saudagar, yang menjalankan politik selincah rumus dagang. “Negosiasi adalah soal penawaran”, kata Kalla, suatu hari saat dia mulai menggarap Aceh. “Kalau tak bisa dapat 1 dengan harga 10, anda bisa tawar dengan harga 15, tapi dapat 2”. Kalla, dalam banyak soal, adalah seorang pragmatis. Tapi, seperti kita lihat, pendekatan “dagang” itu, tak selalu mulus. Dua bulan sebelum bencana tsunami Desember 2004, Kalla sesungguhnya telah mulai melancarkan “gerilya” untuk perdamaian. Saat itu, dia baru saja dilantik sebagai Wakil Presiden, dan yakin akan bisa menyelesaikan konflik di Aceh, seperti halnya di Ambon dan Poso. Kalla lalu mengutus Hamid Awaluddin, orang kepercayaannya yang baru diangkat sebagai Menteri Hukum dan HAM. Rencana itu sangat rahasia: membujuk para panglima GAM di lapangan. “Jangan sampai pers tahu,” begitu Kalla mengingatkan.

Para pemimpin gerakan itu di Swedia, untuk sementara dilewatkan. Mungkin, dalam strategi ini, mereka tak begitu penting. Bagi Menteri Hamid, yang berperang dan menderita, adalah mereka yang hidup di Aceh. Yang dibutuhkan, seorang komandan tertinggi yang dipatuhi di lapangan. Tentu, dia harus bersedia diajak bicara. Usaha Menteri Hamid itu tak sepenuhnya berhasil. Ujung cerita, justru berakhir agak jenaka. Suatu kali, kontak yang “disegani” itu ditemukan. Satu proposal sudah disiapkan. Ada janji konsesi kebun sawit, listrik yang melimpah, pesawat terbang khusus, beserta bandara kelas dunia bagi Aceh. Di proposal itu tertera tandatangan sejumlah pejabat RI, salah satunya Menteri Hamid. Di pihak seberang, ada dua ‘perunding GAM’: M Daud Syah dan Harun Yusuf. Daud, disebut-sebut pengikut Hasan Tiro yang setia, dan berpengaruh di Malaysia. Sama seperti Daud, di Malaysia, Harun dikenal dengan nama lain “Kancil”. Tapi, Daud gagal meyakinkan Muzakkir Manaf. “Urusan politik silakan langsung ke Swedia,” ujar Muzakkir. Dan, Harun “Kancil” justru ditolak. “Mereka bukan juru runding kami,” ujar M Nur Djuli, perunding resmi GAM. Di Malaysia, Harun “Kancil” lebih dikenal sebagai pedagang jamu. Dia, ternyata, bukan kombatan berpengaruh. Tapi, toh Kalla tak pernah patah arang. Dia lalu memutar haluan. Menteri Hamid dikirim ke Eropa, ke Belanda, sampai pada akhirnya satu utusan dikirim ke Swedia. Ada lampu hijau, Hasan Tiro melalui Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, bersedia berdialog asal ada satu negara penengah. Tapi, itu tak mudah bagi Kalla. Pemerintahan SBY akan dilalap oposisi, karena “membesarkan” GAM di panggung politik dunia. Lalu, bagaimanakah membuat dialog itu tetap “berkelas” dunia?

Suatu hari pada Januari 2005, bekas Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, mendapat telepon dari rekannya, seorang pemimpin redaksi koran ternama di Helsinki. Kepada Martti, si teman mengatakan ada pesan dari Indonesia, menginginkan Martti menjadi penengah. Martti, seperti diakuinya kepada saya, awalnya agak enggan. Dia sedang bekerja untuk perdamaian di Afrika, dan juga Eropa Timur. Indonesia, mungkin, terlalu jauh. Tapi, Martti akhirnya setuju karena menimbang Aceh, satu tempat yang luluh lantak diterjang tsunami, dan membuat seisi dunia murung. Si pemimpin redaksi, tak lain rekan Juha Christensen, seorang warga Finlandia ahli farmasi. Juha fasih berbahasa Makassar. Dia adalah kolega dr Farid Hussein, salah satu ‘Orang-orang Kalla’, yang turut dalam tim damai di Jakarta. Cerita selanjutnya kita tahu, bagaimana ‘Orang-orang Kalla’ mengambil hati para pemimpin GAM di Swedia. Perundingan pun dimulai, dan dipimpin Martti. Awalnya sulit, tapi Kalla selalu punya jalan keluar. Ketika kemacetan dialog mengancam, Kalla membuat keputusan cepat. Salah satu ‘Orang Kalla’ bersaksi: suatu kali Menteri Hamid pusing oleh banyaknya syarat yang diajukan GAM di meja perundingan di Helsinki. Dia menelepon Kalla di Jakarta. “Pernah mengambil kredit di bank? Apakah kau baca semua syaratnya?”, tanya Kalla. Seperti halnya bisnis, bagi Kalla, syarat kredit bukan soal pokok. Yang penting: uang bisa cair, dan bisnis bergulir. “Hamid, yang penting mereka setuju berada di dalam NKRI. Yang lain, tak penting,” kata Kalla. Dialog pun lancar kembali.

Pragmatisme, dalam dosis tertentu kadang penting. Dan, Kalla membuktikannya. Seperti diakui M Nur Djuli, sang Wakil Presiden sangat berperan saat perundingan itu di ujung tanduk. Misalnya, ihwal partai lokal bagi Aceh. “Kalla memberikan lampu hijau, partai lokal boleh berdiri”, ujar Djuli. Sejak itu, Kalla dipercaya para pemimpin GAM di Swedia. Dia tak kalah gesit. Kalla menyelami pikiran dan perasaan pemberontak itu. “Saya membaca hampir semua buku karya Hasan Tiro,” ujar Kalla, suatu hari di kantor Wakil Presiden. Dia percaya, dialog hanya mungkin jika kedua pihak saling mengenal, dengan penuh hormat. Misalkan, dia kerap bergurau, saat pertemuan dengan Malik Mahmud cs, bahwa rapat hari itu itu adalah pertemuan GAM. “Gabungan Aceh Makassar,” ujar Kalla. Perundingan Helsinki itu selesai dalam tempo tujuh bulan. Dia bukan hanya membanggakan Indonesia, tapi menjadi teladan bagi Asia Tenggara. Bagi Aceh yang lama terbenam dalam perang, perdamaian mungkin adalah sebuah penemuan. Mereka akan selalu mengenang Kalla: pemimpin yang percaya perdamaian bukan sesuatu yang mustahil.

Referensi : vivanews.com/sorot/

Jumat, 23 Oktober 2009

Kekuasaan dan Penguasa (Harus) Manusiawi

Oleh : Muhammad Ilham

Cerita 1 : Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, "siapa yang mengetuk pintu tadi?". Si anak menjawab, "Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !". Spontan si ayah ini menjawab, "Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara".

Cerita 2 : Ketika melalui Gunung Thai bersama-sama dengan murid-muridnya, Kong-hu Chu melihat seorang perempuan sedang menangis dekat sebuah kuburan. Filosof yang ahli hikmah ini kemudian mendekati perempuan ini dan bertanya, mengapa dia menangis. Perempuan itu menjawab, "Dulu ayah suamiku disergap harimau disini hingga mati. Kemudian suamiku-pun diterkam harimau. Malah sekarang anak laki-lakiku juga mengalami hal yang serupa". Kong-hu Chu kemudian bertanya, "Kalau seperti itu, mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ?". Sambil terus menangis, si perempuan itu kemudian menjawab, "Karena disini tidak ada pemerintah yang menindas". Lalu Kong-hu Chu berkata kepada murid-muridnya, "Ingatlah, pemerintah yang menindas jaub lebih mengerikan dari pada harimau".

Sang ayah di pedalaman hutan belantara Aceh di atas, tidak takut dengan kedatangan Malaikat Maut dibandingkan dengan kedatangan-kunjungan seorang tentara (baca: TNI) kala itu. Demikian juga dengan peringatan Kong-hu Chu. Seekor harimau, paling-paling hanya bisa membunuh dengan satu-dua kali terkaman, tetapi pemerintah dan perangkatnya (baca: penguasa) yang dzolim dan tiranik, dapat membunuh manusia dengan penyiksaan terlebih dahulu yang jauh lebih menyakitkan dan mengerikan dari Malaikat Maut atau harimau sekalipun. Penguasa atawa kekuasaan sungguh menggiurkan. Penguasa atawa kekuasaan juga bisa melahirkan kemashlahatan manusia. Tapi kekuasaan yang tiranik - tanpa ada kontrol dan pembatasan - jauh lebih menakutkan dari Malaikat Maut dan Harimau. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi agar tidak menjadi tirani yang "menandingi" kekuasaan Tuhan. Karena itu, untuk membatasi kekuasaan sang penguasa, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara serius, diantaranya : Kekuasaan negara harus berorientasi kepada demokratisasi ekonomi. Artinya, sektor-sektor bidang ekonomi (baik skala hulu maupun hilir) harus memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Kemudian, pemerintah atau penguasa yang sedang berkuasa tidak boleh memaksakan diri melanggengkan kekuasaannya, dengan dalih dan justifikasi apapun, apalagi melalui intimidasi. Tidak ada hukuman bagi pengkritik, baik yang disampaikan secara resmi atau tidak resmi, asal kritik tersebut argumentatif dan proporsional.

Selanjutnya, demokrasi harus menekankan perlindungan terhadap individu-individu dan minoritas-minoritas dari tirani. Kemudian, penguasa harus "mengajarkan/memperlihatkan" kepada masyarakat bahwa kekuasaan yang dipegangnya tersebut sebagai hal yang biasa, manusiawi dan hanya merupakan titipan dari Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ini tercermin ketika kekuasaan tersebut lepas dari genggamannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal "the untouchable" Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, "saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup". Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia. Presiden yang tadinya "di atas", ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang "dianggap di bawah" (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa "isi dompet" bengkak-memelar, melainkan kembali ke "khittahnya" sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi, karena itu perlakuan kita terhadap subjek dan objek kekuasaan juga harus manusiawi.

Rabu, 14 Oktober 2009

Kabinet Baru Tanpa Dikotomi

Oleh : Muhammad Ilham

Bulan Oktober ini, Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilantik. SBY akan kembali ke pelaminan dengan pasangan barunya, Boediono - intelektual "cool-hand" klimis kaya senyum. Terlepas suka atau tidak suka, vox populis vox dei - "Suara Rakyat Suara Tuhan", sebuah konsekuensi logis-rasional dari pilihan demokrasi. Perdebatan tentang hal, selesai. Tinggal lagi perdebatan komposisi kabinet. Siapa dan posisi apa. Political Scientist Harold L. Laswell secara gamblang menggambarkan : Who get what, how and when. Siapa mendapatkan apa, dalam posisi mana serta kompromi politik yang diambil, mulai terasa auranya dalam blantika politik Indonesia akhir-akhir ini. Terlepas dari perdebatan harus banyaknya profesional dibandingkan dengan wakil partai politik di kabinet mendatang, perdebatan masalah usia calon menteri tetap terus terasa, setidaknya hingga hari ini. Dalam berbagai media massa, nyata-nyata terungkap ada keinginan berbagai kalangan agar generasi muda terakomodinir dalam komposisi kabinet. Sementara, menteri-menteri yang sudah hampir mendekati usia senja, sudah seharusnya "menepi" dan memberikan peluang bagi generasi muda. Alasannya, tantangan ke depan sungguh sangat berat, dan butuh tenaga-tenaga energik. Sementara pada sisi lain, ada sebagian kalangan yang menitikberatkan pada kematangan dan kedewasaan. Jelas, bagi mereka, generasi muda harus terlebih dahulu berproses, jangan karbitan dan oleh karena itu, kabinet yang mendatang adalah kabinet yang diisi oleh orang-orang matang dan dewasa. Kematangan dan kedewasaan yang diuji oleh waktu, setidaknya demikian anggapan kalangan ini.

Gamal Abdel Nasser, pemimpin kharismatik Mesir yang menghembuskan Pan-Arabisme sanggup menjadi pemimpin Mesir berpengaruh, bahkan Arab. Pengagum penyanyi legendaris Arab Ummi Kaltsum ini mampu menggulingkan Raja Farouk yang gembrot ketika usianya belum 30 tahun. Muammar Qaddafi menghalau Raja Idris dan berkuasa di Libya yang kaya minyak itu, juga dalam usia yang belum 30 tahun. Si Brewok, Fidel Castro, berhasil menggulingkan diktator Batista dan memimpin mahasiswa revolusioner memasuki kota Havana serta jadi kepala negara Kuba, padahal umurnya belum 30 tahun. John Fritgerald Kennedy, dalam usia mendekati 40 tahun, menjadi presiden termuda lewat pemilu sepanjang sejarah negeri Paman Sam ini. Ia ganteng, cerdas dan selalu tampil rapi. Sisiran rambutnya yang "manis" mencerminkan bagaimana ia ingin tampil sempurna. Dalam usia muda, ia menjadi pemimpin yang mampu mengambil sikap tegas dan berani mengambil tanggung jawab, bukan melempar. Peristiwa "Teluk Babi" tercatat dalam sejarah sebagai bentuk keberanian dan ketegasan seorang "anak muda" dan klan Kennedy yang pernah menulis dua buah buku ini, Why England Slept dan Profiles in Courrage. Mereka semua muda dan mereka matang, tegas dan dewasa serta berintegritas.

Mao Ze Dong yang tinggi besar bagai patung lilin dan berwajah dingin, dalam usia yang sudah "larut" mampu menggerakkan revolusi besar dan menghalau Chiang Kai Shek hingga lari ke Taiwan. Kamerad Mao ini masih sanggup menggerakkan Revolusi kebudayaan. Bahkan konon, ia juga masih sanggup dalam usia mendekati 70 tahun, berenang-renang di Sungai Kuning dan sesudah itu melahap habis sebaskom mie bakso tanpa berkedip. Dalam usia tua, vitalitasnya justru makin berkembang.

Bung Karno yang ganteng dengan pancaran mata sangat berbinar, gelegar suara membahana, orator ulung dan sangat flamboyan, bisa jadi pemimpin berwibawa. Ia bersama Hatta "memutar" roda sejarah Indonesia. Ganteng dan muda. Nikita Kruschev mampu menjadi pemimpin Uni Sovyet yang brilyan dan masyhur. Badannya tambun dan berkepala bundar. Konon ia baru bisa membaca dalam usia hampir 20 tahun. Tapi ia pintar, bertanggung jawab dan berintegritas. Pemimpin Rusia sewaktu Kennedy jadi pemimpin Amerika Serikat ini pernah membuka sepatunya dalam Sidang Umum PBB ...... dan memukul-mukul meja, sebagai ekspresi kemarahan luar biasanya pada Amerika, pada Kennedy. Ketika John Kennedy mati tertembak, ia adalah salah seorang "lawan" yang menitikkan air mata dan termasuk orang pertama mengucapkan belasungkawa.

Siapa yang tidak kenal dengan Ho Chi Minh? Jangan sandingkan ia dengan Sukarno, apalagi Kennedy. Ia akan tereliminasi dalam babak awal. Tapi sejarah mencatat, ia mampu menjadi pemimpin terbaik bagi rakyatnya, walau bukan muda apatah lagi gagah. Ia bermata sayu mirip seperti orang bangun tidur, tapi ia sanggup membabat habis pasukan Perancis di Dien Bien Phu dan pasukan Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat terpaksa terus menerus melahirkan berbagai film sejenis "Rambo" untuk menafikan integritas seorang Ho Chi Minh. Jawaharlal Nehru - ayahanda Indira Gandhi dan kakek Rajiv Gandhi - mirip Shah Rukh Khan, semampai dan senantiasa menyelipkan sekuntum mawar merah di bajunya. Penggantinya, Lal Bahadur Shastri berperawakan kecil, bisa menjadi juga menjadi pemimpin sebagaimana halnya Nehru yang semapai-gagah. Chou En Lai tergolong pemimpin RRC yang gagah, beralis tebal dan berair muka merah jambu - refleksi pancaran inteligeni tinggi. Tapi penggantinya Chen Yi, justru kebalikannya, bermuka "udik", tak sedap dipandang mata dan cenderung tidak menyukai protokoler. Tapi Chen Yi bisa memimpin warganya dengan baik, seperti Chou En Lai.

Sejarah telah mengajarkan, tak ada referensi terbaik bahwa usia memberikan kontribusi besar terhadap potensi kepemimpinan. Sejarah juga memberikan pelajaran berharga, bahwa pemimpin terbaik itu tidak ditentukan "profile-tubuh" indah sedap dipandang mata. Pemimpin-pemimpin besar di atas, selalu berfikir dan memiliki integritas tinggi bagi rakyatnya. Berfikir dan integritas tidak monopoli kaum muda atau kaum tua atau orang jelek apatah lagi orang gagah. Sineas almarhum Asrul Sani, suatu waktu pernah mengatakan : "ada dua jenis pemimpin, ada yang duduk di sofa (baca : kekuasaan dan jabatan) sebagai keharusan dan berfikir (untuk rakyat) sebagai sesuatu yang luks, dan ada pemimpin yang berfikir (untuk rakyat) sebagai sebuah keharusan dan duduk di sofa sebagai luks. Selamat datang di ranah tantangan, kabinet baru SBY-Boediono.

Selasa, 13 Oktober 2009

Ancaman 8,8 Skala Richter : "Mari Bersahabat Dengan Gempa"

Oleh : Muhammad Ilham

Ada cerita menarik : "disebuah perkampungan padat penduduk terdapat dua buah bangunan kontradiktif, masjid dan bangunan hotel yang sarat dengan aura prostitusi. Kedua bangunan kontradiktif ini, dibangun berdekatan, hampir sama tinggi. Tapi masjid lebih kokoh, sedangkan hotel mesum tersebut terkesan muram (maklum, pengunjungnya suka yang muram-muram). Sepintas lalu, bangunan masjid akan tahan dengan "ujian alam" - dari perspektif apapun, baik teologis maupun kepatutan alam fisik. Allah pasti akan menjaga rumahnya (baca: masjid), apalagi masjid dibangun dengan struktur bangunan yang cukup kuat, dibandingkan dengan hotel mesum yang nyata-nyata "musuh Allah". Tapi apa nyana, ketika petir-kilat datang menyambar, justru masjid yang hancur, sedangkan hotel mesum tetap berdiri kokoh dalam kemesumannya. Salahkah Allah ? ....................... tidak. Rupanya pengurus masjid ini terlampau over confidence, Allah pasti menjaga rumahnya, sehingga pengurus lupa membaca Sunnatullah. Pengurus lupa atau merasa tidak perlu menyuruh kontraktornya membuat kawat anti gempa di atas bangunan masjid nan kokoh ini, sementara hotel mesum membaca Sunnatullah .......... mereka pasang anti gempa di atas bangunan mereka. Masjid disambar kilat, hotel mesum tetap berdiri ................... dan ini berarti Bukan Allah yang salah atau marah kepada masjid, tapi Allah akan menjaga orang-orang yang tetap memperhatikan Sunnatullah (Muhammad Ilham, 1999: 20-21)

Saya bukan ahli gempa (bahkan istilah Richter tersebut sampai hari ni saya tak tahu sejarahnya) dan sangat bodoh tentang seluk beluk gempa. Bagi saya gempa ibarat "hujan", dari dulu hujan tersebut pasti ada dan selalu turun terus menerus, tergantung kondisi geografis-nya. Ada daerah yang intensitas turun hujannya cukup tinggi, ada daerah yang menganggap hujan sebagai fenomena langka, tapi tetap hujan itu turun. Ini memperlihatkan hujan adalah sunnatullah. Demikian dengan gempa. Persoalannya sekarang adalah gempa merupakan salah satu fenomena alam yang "sulit" bahkan hampir tidak bisa diprediksi, kapan ia datang sebagaimana halnya hujan, begitu mudah diprediksi dan memiliki tingkat validitas prediksi cukup tinggi. Gempa tidak. Tapi ia tetap fenomena (baca: sunnatullah) yang sejak nabi Adam hingga sekarang (dipastikan) telah ada. Oleh karena itu, prediksi-prediksi scientifik tentang gempa yang banyak bermunculan belakangan ini justru terkadang "melawan arus" metodologis keilmuan "pergempaan". Sejak gempa sering "berkunjung" ke Indonesia, hampir semua pakar Gempa mengatakan bahwa gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diketahui kapan dan dimana datangnya. Akan tetapi, tetap saja ada pernyataan-pernyataan (baik dari para ahli gempa, ahli nujum, dukun selebrities dan seterusnya) yang mengeluarkan komentar seakan-akan gempa seperti hujan yang bisa diprediksi. Kita masih ingat, bagaimana prediksi seorang ahli "nujum/paranormal" Brazil yang mengatakan bahwa pantai barat Sumatera Barat akan dihantam tsunami pasca tsunami Aceh ...... dan itu tidak akan lama. Lucunya, ia (konon) memprediksi akan terjadi pada hitungan bulan. Nyatanya, tak terjadi. Dan, kita banyak juga mendengar analisis "supranatural" lainnya yang tetap menganggap bahwa tsunami akan singgah di Sumatera Barat. Pasca gempa 30 September 2009 yang lalu, ditengah suasana panik luar biasa masyarakat Sumatera Barat, muncul lagi isu tentang potensi gempa yang lebih besar ..... dengan menggunakan dalil epistimologik-metodologik. Berikut narasinya, sebagaimana yang saya kutip dari www.vivanews.com :

Kota Padang dan sekitarnya kini tengah tidur di atas bom waktu. Ancaman gempa susulan sebesar 8,8 skala ritcher (SR) mengancam. Potensi tsunami pun meruyak. Demikian analisis Direktur Obervasi Bumi dari Nanyang Technological University Singapura, Kerry Sieh, seperti dimuat The Strait Times edisi Rabu 14 Oktober 2009. Menurutnya, banyak pergerakan tektonik di muka bumi ini. “Tetapi tidak ada yang seaktif Padang dalam beberapa dekade terakhir,”katanya. Gempa 7,6 SR yang menghantam Padang dua pekan lalu dan menewaskan seribu lebih manusia, menurut Kerrry, hanyalah pembukaan dari gempa yang lebih dashyat. “Tidak ada satu tempat di bumi yang melepaskan begitu banyak aktivitas seismik selama dekade terakhir selain wilayah Sumatera Barat,”katanya, Ia dan rekannya peneliti Indonesia kini tengah meneliti wilayah dengan radius 400 km di pulau Mentawai, Sumetara Barat. Ia memprediksi akan terjadi gempa susulan dengan kekuatan 8,8 SR dan berpotensi tsunami seperti halnya tsunami tahun 2004 di Aceh. Gempa ini diduga akan terjadi tak lama lagi. Dia dan timnya juga tengah meneliti Sunda megathrust. Ia dan timnya menemukan gempa yang disebabkan oleh Sunda megathrust terjadi dalam siklus 200 tahunan sekali. Yakni pada tahun 1300, 1600 dan 1800.

Tanpa menafikan dalil epistimologik sebuah disiplin ilmu, tapi yang jelas, pernyataan para ahli yang meng-klaim akan terjadi potensi gempa luar biasa (berikut tsunamy) di Kota Padang dan sekitarnya, jelas "berlawanan" dengan dasar epistimologik-metodologik yang baku dan menjadi mainstream dasar epistimologik dalam ilmu "pergempaan" ........... yaitu gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diprediksi. Tapi, simpulan para ahli tersebut tetap menjadi sebuah ikhtiar dari anak manusia dalam mengingat anak manusia yang lain, agar hati-hati dengan fenomena alam. Mungkin alam sudah mulai bosan (meminjam ungkapan Ebiet G. Ade). Oleh karena itu, bersahabatlah dengan alam. Bangunlah bangunan yang bersahabat dengan perhitungan yang mengikuti hukum alam. Jangan membohongi hukum alam. Kita masih ingat, tsunamy Aceh memberikan pelajaran paling berharga bagi peradaban ummat manusia. Bila konstruksi infrastruktur bangunan mengikuti hukum alam dan tidak mudah memberikan izin dalam membangun infrastruktur yang dimana mobilitas masyarakat pada infrastruktur tersebut cuukup mobile dan besar, kemungkinan korban tsunamy di Aceh bisa diminimalisir. Seandainya bangunan di Kota Padang (baca Pemerintah Daerah) "lebih memperhatikan" tata dan sistem bangunan-infrastruktur dengan baik, rigid, sistematik dan patuh pada sistem yang telah ditetapkan berdasarkan kepatutan alam, niscaya bangunan-bangunan kota Padang dan sekitarnya, pada waktu 30 September 2009 yang lalu, tidak menjadi penyumbang terbesar kematian anak bangsa. Ketika tsunamy Aceh terjadi, negara Malaysia (khususnya daerah Pulau Pinang) termasuk daerah yang dilandasi imbas tsunamy cukup besar, tapi mengapa korban tidak banyak yang berjatuhan ?. Sistem telah terbangun dengan baik, bangunan-bangunan kokoh dan sterusnya. Mengapa Jepang yang "marasai" kena gempa - bahkan tsunamy-pun menjadi hak paten Jepang - bisa "bersahabat" dengan gempa ? Mengapa orang Belanda bisa menjadi negara yang rata-rata berada 1 meter dibawah permukaan laut, sehingga masyarakat mereka memiliki kebiasaan memegang batang hidung ketika bicara (entah ada hubungannya entah tidak, saya tak tahu)?. Lalu mengapa, banyak rumah-rumah di komplek perumahan - setidaknya itu yang saya saksikan - di Kota Padang, banyak ambruk ? Mengapa banyak gedung-gedung yang rontok ? Adakah yang salah dalam proses membangunnya ? atau, pemerintah yang berhak mengurus kepentingan hajat hidup warganya, setidaknya mengayomi, tidak memperhatikan ketentuan/sistem yang harus ditetapkan secara tegas kepada warganya, terutama yang berkaitan dengan "prosedur pembangunan-infrastruktur" ?. Saya hanya membayangkan, tahun-tahun ke depan, bangunan menjulang tetap ada di Kota Padang, tapi kokoh dan telah teruji dengan sistem yang telah ditetapkan. Saya juga membayangkan, tidak ada lagi perumahan murah yang dibangun dengan "acak-acak" dan bisa bolong ketika anak kita menendang dindingnya. Ke depan, perumahan yang saya bayangkan di Kota Padang, adalah perumahan murah nan mungil lagi kuat serta bersahabat dengan alam ............ dan suatu hari saya membayangkan pula akan membaca headline sebuah media massa Kota Padang : "Sebuah Komplek Perumahan Murah Untuk Rakyat Miskin Dirobohkan atas Suruhan Pemerintah Daerah Karena Belum Lulus Standarisasi Gempa". Besoknya, saya juga membaca headline pada media lain : "Seorang Developer dicabut izin usahanya karena Perumahan yang dibangunnya banyak yang retak" ........... Selanjutnya, mau tidak mau, gempa selalu akan datang, tapi entah kapan dan dimana, hanya Allah yang tahu. Karena itu, bersahabat dengan gempa sudah harus mulai difikirkan oleh ummat manusia. Karena memang, sebagaimana halnya hujan-angin-puting beliung dan gempa itu ada di bumi. Saya tidak tahu, apakah ada "bumi" lain yang tidak pernah dikunjungi oleh gempa. Kalau memang ada, rasanya ingin kita membelinya ............ tapi tidak tahu di toko mana dijual. Wallahu a'lam bisshawab

G 30 S (Baca : Gempa Tiga Puluh September) : "Kenalkan, Nama Saya Mak Gampo"

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam antropologi budaya, nama menunjukkan sistematisnya sebuah budaya. Kata antropolog Bronislaw Malinowski, dari nama akan diketahui sistem dan interaksi sosial sang ego (baca: nama) tersebut berproses secara sosial kultural. Di beberapa daerah, Bali misalnya, dari nama akan menunjukkan posisi sosialnya. I Gusti, I Nyoman, Idayu dan seterusnya bukan tanpa makna, tapi bisa menjawab pertanyaan : "Bagaimana status sosialnya ?". Di daerah-daerah lain, juga ditemukan hal-hal seperti ini. "Andi dan devian-nya di Makassar, Tengku dan sejenisnya di pesisir timur Sumatera, Syah-Sidi-Marah di pesisir barat Sumatera Barat dan sebagainya. Ungkapan William Shakespeare, "what is name" ...... nampaknya tak "matching". Dalam tradisi Islam "garis keras" (saya menggunakan konsep debatable), terutama di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, terdapat beberapa tokoh/elit ideologi-institusi yang menghilangkan nama asli mereka dan lebih "familiar" menggunakan nama yang menunjukkan posisi genetik-nya terhadap anak kandungnya. Jadi, tidaklah mengherankan kemudian kita mengenal nama Abu Djibril (Ayah Muhammad Djibril) yang merupkana tokoh Majelis mujahiddin Indonesia, Abu Ghiffari (Ayah Ghiffari) yang bernama asli Ir. Hadi Wijaya yang merupakan salah satu mantan elit Jama'ah Islamiyah, Abu Dujana, Abu Hadi, Abu Lathief dan sebagainya. Uniknya, mayoritas "labelling" pada anak laki-laki.

Di komplek perumahan saya, hal seperti ini juga terjadi. Kalau istri saya biasa dipanggil Ibu Ifa dan saya Ayah Ifa (Ifa anak saya yang tertua). Tetangga saya sering dipanggil mama Bilqis, papa Fauzi, mama Daffa dan sterusnya. Terkadang, saya pribadi tidak tahu secara persis nama lengkap warga yang saya pimpin di komplek perumahan tempat saya tinggal, namun akan cepat mengetahui posisi rumah mereka ketika label nama anak mereka dipakai ........ Ayah Ihsan di Blok A/3, papa Rudi Blok E/7, mama Fani Blok G/12 dan sterusnya. Bedanya dengan labelling nama sebelumnya, labelling nama yang saya jumpai - termasuk di komplek saya tersebut - selalu untuk anak tertua, tidak tergantung anak tersebut laki-laki. Di ujung Blok komplek perumahan saya, ada satu keluarga yang hingga hari ini saya hanya mengenal nama lengkap suami - Joni Anwar @ Jon, "bos" payung di Pasar Raya Padang. Sementara nama istrinya, yang saya tahu hanya ............. "Mak Gampo". Gampo, lengkapnya Hendra Gampo adalah nama anaknya yang tertua, kira-kira berumur 5 tahunan. Sebuah nama yang sangat historis. Kebetulan, si anak ini lahir waktu Gempa 2007 yang lalu terjadi. Untuk mengabadikan moment historis ini, maka si Jon yang bos payung ini memberikan kata Gampo dibelakang nama anaknya. Jadilah si kecil lincah ini lebih sering dipanggil warga dengan ..... Gampooooooooo, dibandingkan hendra, dan ibunya dengan panggilan Mak Gampo.

Pasca gempa 30 September 2009, kata-kata gempa menjadi kata yang memiliki potensi "destructive psychologis" bagi warga di komplek saya. Mendengar kata-kata gampo (bahasa Minangkabau dari gempa), warga agak traumatik. Hari Minggu, 3 hari setelah gampo terjadi, hari cukup cerah, warga banyak yang duduk-duduk dan tidur-tiduran di tenda-tenda (maklum, di komplek saya terdapat 20 rumah yang ambruk akibat gempa) terdengar teriakan keras dari ujung blok saya : ...... "Gampoooooooooooooo, Gampooooooooooo, Gampooooooooo !!!!!!". Warga yang lagi tidur-tiduran dan bercengkrama di tenda-tenda ini berhamburan keluar, lari dan mencari posisi "aman". Maklum, trauma. Beberapa saat kemudian, warga merasa heran, tak terasa sedikitpun "hoyak" gampo. Rupanya, setelah mencari sumber suara yang meneriakkan "gampo" tadi, akhirnya, warga yang ketakutan tadi ketawa terbahak-bahak. Mak Gampo yang istri si Joni Anwar ini sedang berteriak-teriak memanggil anaknya - si Gampo - yang bermain di dekat sungai kecil. Mak Gampo rupanya takut anaknya tercebur ke dalam sungai. Beberapa hari belakangan ini, Mak Gampo jarang memanggil anak dengan "kata-kata keramat" ini lagi. Kata tetangga saya, Mak Gampo lebih sering memanggil anaknya dengan "Hendra". Cukup kereen dan tidak berpotensi menciptakan "kegaduhan".

Senin, 12 Oktober 2009

Pidato Kontroversial Ahmadinedjad di MU-PBB

Ditulis ulang oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan ringkasan dari pidato Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, dalam sidang tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York AS, 23 September 2009. Transkrip pidato sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan oleh Kedutaan Besar Iran di Jakarta

Selama empat tahun terakhir, saya telah memaparkan sejumlah tantangan utama yang dihadapi dunia. Saya pun telah mengutarakan pangkal penyebab tantangan-tantangan itu dan perlunya bagi kekuatan-kekuatan dunia untuk meninjau pandangan mereka dan mengupayakan mekanisme baru untuk mengatasi masalah-masalah internasional. Saya juga telah memperbincangkan dua pandangan yang bertentangan: yang satu lebih banyak berdasarkan kepentingan-kepentingan materialistik melalui penyebaran ketimpangan dan penindasan, kemiskinan dan perampasan, agresi, pendudukan dan muslihat, serta cenderung membawa seluruh dunia di bawah kendalinya dan menerapkan kemauannya kepada bangsa-bangsa lain. Pandangan ini tak lain hanya menghasilkan frustrasi, kekecewaan, dan masa depan yang kelam bagi seluruh umat manusia.

Pandangan yang lain adalah yang berdasarkan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mengikuti ajaran dari para nabi-Nya, menghargai martabat manusia dan berupaya membangun dunia yang aman bagi semua umat manusia, di mana semua orang dengan setara bisa menikmati berkah perdamaian dan spiritualitas. Yang terakhir ini merupakan pandangan yang menghargai semua umat manusia, bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan yang berharga dalam menentang segala bentuk diskriminasi di dunia dan membaktikan diri kepada perjuangan yang terus-menerus untuk mendorong persamaan bagi semua pihak di depan hukum berdasarkan keadilan dan persaudaraan, serta menaruh landasan yang solid demi menjamin akses yang setara bagi semua umat manusia dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Saya berulang kali menekankan perlunya membuat perubahan-perubahan fundamental dalam situasi di dunia saat ini dan bagi kehidupan manusia demi menciptakan masa depan yang cerah. Maka, saya ingin berbagai beberapa hal mengenai perubahan-perubahan yang harus berlangsung.

Pertama, situasi di dunia seperti saat ini tidak mungkin dilanjutkan. Kondisi yang tidak seimbang dan tidak menguntungkan saat ini bertentangan dengan sifat umat manusia dan bergerak ke arah yang berlawanan dengan kebenaran dan tujuan di balik penciptaan dunia. Kini tidak mungkin lagi untuk menyuntikkan ribuan miliar dolar kekayaan yang semu ke perekonomian dunia hanya dengan mencetak aset-aset kertas yang tak berharga atau mentransfer inflasi dan masalah-masalah sosial dan ekonomi ke pihak-pihak lain melalui defisit-defisit anggaran yang parah. Mesin kapitalisme yang tak terkendali dengan sistem pemikiran yang tidak adil telah berada di ujung jalan dan tak mampu lagi bergerak. Era pemikiran kapitalis dan penerapan salah satu pemikirannya bagi masyarakat internasional dan berupaya menguasai dunia atas nama globalisasi telah berakhir. Kini tidak mungkin lagi untuk mempermalukan bangsa-bangsa dan menerapkan kebijakan-kebijakan standar ganda bagi masyarakat dunia.

Berbagai pendekatan di mana realisasi kepentingan kekuatan-kekuatan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kriteria untuk mengangkat demokrasi dan menggunakan metode-metode intimidasi dan pengecohan terburuk di bawah mantel kebebasan sebagai praktik demokrasi haruslah ditolak. Begitu pula dengan pendekatan-pendekatan di mana para diktator digambarkan sebagai demokrat dan kurang legitamsi juga tidak boleh diterima. Saatnya telah berakhir bagi mereka yang menentukan demokrasi dan kemerdekaan, sementara di saat yang sama mereka juga yang pertama-tama melanggar prinsip-prinsip fundamental. Mereka tidak bisa lagi duduk baik sebagai hakim maupun eksekutor serta menantang para pemerintahan yang benar-benar dibentuk secara demokratis. Kebangkitkan banyak bangsa dan ekspansi kebebasan di penjuru dunia tidak bisa lagi memungkinkan mereka untuk melanjutkan kemunafikan dan perilaku yang jahat. Maka, semua bangsa termasuk rakyat Amerika Serikat tengah menunggu perubahan yang nyata dan besar.

Tak dapat dibayangkan bila kebijakan-kebijakan atas Palestina terus berlanjut: Mengusir seluruh populasi dari suatu negeri yang telah menjadi tanah air mereka selama lebih dari 60 tahun dengan kekuatan dan paksaan; menyerang mereka dengan segala bentuk senjata; mengabaikan hak-hak mereka untuk membela diri sementara banyak pihak menyebut penjajah sebagai kaum yang cinta damai dan melihat para korban sebagai teroris. Bagaimana bisa kejahatan penjajah atas para perempuan dan anak-anak dan penghancuran rumah mereka didukung oleh sejumlah pemerintah tanpa syarat. Di saat yang bersamaan, para lelaki dan perempuan terjajah yang menjadi korban genosida dan blokade ekonomi yang parah tidak bisa mendapat kebutuhan pokok, pangan, air, dan obat-obatan. Mereka bahkan tidak diperbolehkan untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang hancur akibat serangan barbar selama 22 hari oleh rezim Zionis sementara musim dingin kian dekat. Para agresor dan pendukung mereka justru secara licik melanjutkan retorika mereka dalam membela hak asasi manusia dalam rangka menekan pihak-pihak lain.

(Saat Ahmadinejad mengucapkan dua kalimat di atas, para perwakilan dari negara-negara Barat - seperti Prancis, Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain - ramai-ramai melakukan aksi walkout dengan keluar dari ruang sidang kendati Ahmadinejad belum selesai berpidato. Presiden Iran itu tetap melanjutkan pidatonya)

Kini, tak dapat lagi diterima bahwa suatu minoritas yang kecil akan mendominasi politik, ekonomi, dan budaya dari penjuru dunia dengan jaringan mereka dan menciptakan bentuk baru perbudakan serta menghancurkan reputasi bangsa-bangsa lain - bahkan termasuk bangsa Eropa dan AS - untuk mencapai ambisi-ambisi rasis mereka. Kini tidak dapat diterima bahwa pihak-pihak yang berada ribuan kilometer jauhnya dari Timur Tengah akan mengirim pasukan mereka untuk melakukan intervensi militer dan menyebarkan perang, pertumpahan darah, agresi, teror, dan intimidasi di seluruh kawasan. Mereka pun menyalahkan protes negara-negara di kawasan itu - yang prihatin atas nasib dan keamanan nasional mereka - sebagai tindakan menentang perdamaian mencampuri urusan pihak lain. Lihatlah situasi di Irak dan Afganistan.
(Insert : Foto Ahmadinedjad dalam "Pidato Kontroversial". Sumber : www.vivanews.com)

G 30 S (Baca : Gempa Tiga Puluh September) : "Pesta Perkahwinan Tanpa Tamu Undangan"

Oleh : Muhammad Ilham

Biasanya, ditengah kondisi setragis apapun, terselip cerita-cerita indah, memilukan ataupun membuat kita nelangsa. Salah seorang kolega saya sesama dosen-pensyarah di Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, berniat melaksanakan pesta perkahwinan pada hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2009. Tempatnya, di Gedung Serba Guna IAIN Imam Bonjol Padang. Undangan "dari bahan cukup berkelas" jauh hari telah disebarkan. Tapi apa nyana, Gedung yang ingin dipakai itu, retak "urat nadi" dan berpotensi membuat takut para undangan. Apalagi, mayoritas para undangan itu, memiliki problem tersendiri pasca gempa terjadi. Akhirnya, pesta dilewatkan dan menjadi catatan "manis-mengecewakan" bagi ke dua pengantin. Demikian juga kisah-kisah lain di beberapa tempat. Pasca 'Idhul Fithri jelang 'Idhul 'Adha merupakan waktu indah nan sakral bagi masyarakat Minangkabau untuk melaksanakan perhelatan anak-cucu -kemenakan mereka. Tidaklah mengherankan kemudian, muncul berbagai cerita suka duka di seputar perhelatan perkahwinan, di antaranya seperti yang di alami pasangan Syahrial (25) dengan Izzah (22).

Niat hati pulang sejenak dari perantauan di Jakarta untuk melaksanakan pesta perkawinan. Namun apa mau dikata, saat pesta perkawinan digelar justru tidak ada tamu undangan yang datang. Ini semua gara-gara gempa. Ini sekelumit cerita di balik musibah gempa yang mengguncang Bumi Minang. Usai lebaran atau bulan Syawal dianggap hari yang baik dilaksanakannya pernikahan. Begitu juga dengan pasangan pengantin Syarial dengan Izah warga Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Usai lebaran sepekan lalu, keduanya telah berencana mengakhiri masa lajang. Usai akad nikah, mereka pun menyebarkan undangan yang tertulis pesta perkawinan akan diselenggarakan Kamis (1/10/2009). Segala persiapan pun dilakukan. Tenda telah dipesan, pelaminan telah ditampilkan serta segala macam hidangan daging untuk tetamu pun telah siap dimasak.Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Sehari sebelum pesta dilaksanakan, Rabu (30/9/2009) Bumi Minang diterjang gempa. Ribuan rumah ambruk rata dengan tanah. Bersyukur rumah sang pengantin hanya roboh di bagian dapur saja. Walau baru dilanda gempa, pesta perkawinan tetap dilangsungkan. Mempelai mengenakan pakaian adat Minang. Mereka berdua duduk di pelaminan. Tetapi, tamu undangan tidak ada yang datang. Pesta pun hanya diramaikan beberapa keluarga terdekat saja.

"Pesta tetap dilaksanakan walau tanpa undangan. Mereka tetap foto-foto bersama keluarganya. Pengantinnya bilang, momen foto duduk di pelaminan itu sangat penting untuk kenang-kenangan, walau pestanya tanpa dihadiri tamu," ungkap Jon Hendra, kakak sepupu sang mempelai pria. Senyum bahagia tetap terpancar dari wajah kedua mempelai. "Tidak mungkin dibatalkan, sebab urusan sewa tenda, baju pelaminan semuanya sudah dibayar duluan. Begitu juga dengan masak daging. Jadi nggak mungkin pesta dibatalkan begitu saja," cerita Jon yang kesehariannya bekerja sebagai petani. Karena tak ada tamu undangan yang datang, akhirnya daging yang sudah dimasak dibagi-bagikan ke korban gempa.

(Insert : Salah satu bangunan yang roboh akibat gempa/Sumber : www.detiknews.com)

G 30 S (Baca : Gempa Tiga Puluh September) : "Saudaraku yang Memalukan"

Oleh : Muhammad Ilham

Peter F. Drucker, dedengkot Ilmu Manajemen, pernah mengatakan bahwa keberhasilan seseorang berkorelasi dengan kemampuannya memanfaatkan dan mengoptimalkan kesempatan yang ada. Sementara itu, "mbah"-nya Kapitalisme - Sdr. Adam Smith - mengeluarkan diktum tersohor : "Dengan modal kecil untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya". Minimalisir modal untuk maksimalisasi keuntungan. Bila digabungkan dua rumus "matematika" ini, maka lahirlah rumus (baru) : "orang berhasil itu adalah orang yang mampu memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan besar dengan modal kecil".

30 September 2009, Jam 16.00 WIB sore, lebih kurang, beberapa saat setelah gempa terjadi, saya bersama istri terjebak macet luar biasa. Jarak dari sekolah tempat istri saya mengajar ke rumah kami di Perumahan tempat kami tinggal di Korong Gadang Kuranji sekitar 13 Km, lebih kurang. Kalau dari kampus IAIN tempat saya mengajar, sekitar 8 Km, lebih kurang pula. Kalau suasana normal, ataupun macet agak sedikit, jarak tempuh dengan motor "Supra Paling Fit" saya, sekitar 30-45 menit. Tapi hari itu, saya dan istri sampai ke rumah pukul 23.00 WIB tengah malam. Keterlambatan tersebut .......... ya, karena macet tadi dan kehabisan minyak bensin motor saya yang "Supra Paling Fit" tersebut. Karena jalan motor sangat lambat-tertatih, sementara mesinnya tetap hidup, tanpa saya sadari, dipertengahan jalan, motor mati. Bensinnya habis. Jam 20.00 WIB malam - lebih kurang. Kal itu, perjalanan saya dan istri masih setengah menuju rumah. Terpaksa saya "heret" motor keluaran 2004 ini, sementara istri berjalan kaki sambil menenteng sepatu. Ia keletihan. Saya kasihan ....... sumpah, saya sangat kasihan melihatnya. Bila saya punya helikopter kala itu, saya akan pangku istri saya untuk terbang bersama menuju rumah, dimana dua putri mungil kami, kami tinggalkan dengan pengasuh. Tapi sayang, saya tak punya helikopter. Saya pegang stang motor, sementara istri saya berjalan dibelakang tubuh saya ditengah hiruk pikuk mobil-klakson, asap knalpot yang pekat didalam suasana malam tanpa listrik yang padam sesaat setelah gempa terjadi.

Saya berusaha mengeluarkan motor dari antrian yang padat, menepi. Rehat. Setelah merokok 1 batang, saya mencari Air Mineral. Kebetulan ada beberapa anak muda yang menenteng kardus Air Mineral, saya panggil salah satu di antara mereka, kemudian saya ambil dua botol ukuran menengah Air Mineral merk SMS. Biasanya di komplek perumahan atau ditempat lain, Air Botol ukuran menengah ini saya beli Rp. 2.000 satu botol. Kebetulan dalam dompet saya ada uang Rp. 20.000,-, tak lebih tak kurang. Saya serahkan lembaran uang Rp. 20.000,- tersebut. Penjual Air Mineral, yang anak muda tadi, mengembalikan uang satu lembar, Rp. 10.000,-. Saya protes, "Dik, kok kembalian uangnya 10.000,-. Biasanya 1 botol hanya 2.000,-", kata saya sambil sedikit agak marah. "Satu botol Rp. 5.000,-. Kalau abang mau cari yang 2.000,-, cari saja di tempat lain", katanya sambil berlalu. Saya dan istri hanya bisa menggerutu. Setelah dahaga dan penat agak terlepaskan, saya dan istri mulai "mengheret" motor, mencari orang yang menjual bensin. Biasanya, dalam setiap 100 meter, pasti ada kedai yang menjual bensin eceran. Tapi entah kenapa, pada malam itu, kedai-kedai penjual bensin eceran ini pada tutup. Setelah hampir 1 kilometer berjalan, melalui "jasa informasi" seorang teman yang juga terjebak macet, ia menyarankan saya dan istri mencari bensin di sebuah lorong/gang, kira-kira 200 meter dari jalan umum. Kami ikuti saran teman itu. Baru 100 meter berjalan, sudah terlihat antrian panjang motor di depan sebuah kedai bensin yang biasa-biasa saja. Karena tidak ada opsi lain, saya dan istri akhirnya mau masuk dalam "siklus antri". Hampir 30 menit, akhirnya sampai giliran motor "Supra Paling Fit" saya. Ketika saya pesan 1 liter bensin, si penjual bensin ini mengatakan bahwa 1 liter bensin harganya Rp. 20.000,". Gila. Biasanya 1 liter Rp. 5.000 di kedai-kedai eceran dan Rp. 4.500,- di SPBU. Saya minta pada istri tambahan uang Rp. 10.000 lagi, karena isi dompet saya tinggal Rp. 10.000,- lagi. Sebelumnya, Rp. 10.000,- uang saya telah "diramppk" penjual Air Mineral yang bermerk SMS. Rupanya dompet bistri saya tinggal di kantornya. Panic effect. Akhirnya saya "membenar" untuk 1/2 liter saja. Saya kasih Rp. 10.000,- dengan hati memberontak, bensin yang beraroma "minyak tanah" (nampaknya sudah dioplos) berpindah ke tanki minyak motor saya. Hanya 1/2 liter ..... dan saya jamin, pasti kurang 1/2 liter.

Besoknya, saya bersama salah seorang adik istri pergi melihat bangunan-bangunan runtuh "kreasi gempa" dengan motor "Supra Paling Fit" kesayangan. Ketika sampai di Hotel Ambacang yang porak poranda, saya berhenti. Saya lihat ekskavator sudah mulai bekerja. Di tengah keasyikan melihat kerja ekskavator tersebut, perhatian saya tertumbuk pada beberapa orang bermata sipit serta beberapa orang lagi yang berwajah bule. Saya lihat dari rompi yang merekla pakai .......... bermata sipit adalah relawan Jepang, sementara si Bule dari Australia. Luar biasa, mereka sangat cepat tanggap, baru satu hari kejadian gempa berlangsung, mereka sudah sampai ke Kota Padang ........ dan langsung bekerja. Betul-betul Cepat Tanggap dan bukan Tanggap Darurat. Di depan Hotel Ambacang, saya lihat pedagang minuman Air Mineral dan minyak bensin cukup banyak. Bersama adik istri tadi, saya kemudian membeli Air Mineral, kalau tak salah bermerk "jeje". Rp. 6.000, satu botol ukuran menengah. Saya terperangah, lebih mahal dibandingkan dengan harga tadi malam. Karena merasa "dizalimi" dan "dibodohi", saya berlalu menuju penjual bensin. Untuk jaga-jaga, 2 liter bensin ingin saya masukkan ke dalam tanki minyak motor saya. Saya lihat, para penjual bensin hanya memasukkan bensin yang mau dijual ke dalam botol Air Mineral Aqua ukuran besar ............ dan saya jamin, tidak akan pas 1 liter. Saya tanya, "berapa satu liter, Pak?". "Rp. 25.000,- Pak", katanya. Saya nanar, terdiam, geram dan bercampur aduk. Kemudian saya menoleh kembali ke areal evakuasi Hotel Ambacang yang sudah banyak ditonton para "penonton". Saya ingin kembali melihat beberapa orang bermata sipit dan beberapa lagi bule. Ada rasa malu luar biasa di diri saya. Orang dari nagari "antah barantah" datang ke "rumah ranah Minangkabau" tercinta, berjibaku-berpeluh-berpanas hujan ... hanya untuk mencari saudara-saudara kita yang terhimpit-mati di dalam bangunan. Sementara saudara-saudara saya, se-Iman dan se-Ras, sejak tadi malam hingga hari ketika saya melihat evakuasi Hotel Ambacang tersebut, hanya mau mengikuti "dalil" Peter F. Drucker dan Adam Smith diatas, dan tidak mau mengikuti dalil hati nurani. Kalau tidak membantu dengan tenaga dan uang, setidaknya mereka jangan mempersulit keadaan yang telah-telah nyata sulit kala itu. Karena malu dengan orang yang bermata sipit dan beberapa orang berwajah bule, akhirnya saya pergi dari lokasi evakuasi itu, langsung pulang. Saya tak mau jadi wisatawan dan menjadi penonton. Pada titik itu, saya begitu malu menjadi saudara dari mereka yang hanya memanfaatkan keadaan kritikal yang terjadi.

Minggu, 11 Oktober 2009

G 30 S (Baca : Gempa Tiga Puluh September) : "Ramlan Kini Hanya Punya Satu Kaki"

Oleh : Muhammad Ilham

RAMLAN kini hanya punya satu kaki. Ketika terjadi gempa, kaki kanannya remuk setelah tertimpa beton. Tak ada yang berhasil menolong Ramlan untuk keluar dari jepitan beton saat itu, hingga akhirnya dia terpaksa menggergaji sendiri kaki kanannya agar bisa dikeluarkan dari gedung. Ketika gempa terjadi 30 September lalu, Ramlan sedang berada di lantai VII Gedung Tel­komsel, Jl Khatib Sulaiman, Pa­dang. Pemuda 18 tahun tersebut sudah sebulan tinggal di Padang. Dia bekerja sebagai pekerja bangunan di gedung itu.

Saat gempa terjadi, Ramlan ber­usaha menyelamatkan diri. Namun nahas, ketika sedang berlari, kaki kanannya tertimpa beton berukuran 4 x 4 meter dan diperkirakan beratnya mencapai 6 ton. Waktu gempa itu, saya berada jauh dari kawan-kawan. Ketika hendak menyelamatkan diri, tiba-tiba kaki saya ditimpa beton yang sangat berat,'' ungkapnya. Beton tersebut menimpa bagian bawah betis Ramlan. Seketika itu dia berusaha meminta tolong teman-temannya yang satu pe­kerjaan. Teriakan Ramlan tersebut tidak digubris teman-temannya yang juga sedang melarikan diri ke lantai bawah.

Dalam pikiran Ramlan saat itu, dia harus sesegera mungkin menyelamatkan diri. Padahal, dia tak bisa ke mana-mana karena kaki kanannya penuh darah dan remuk terjepit beton. Setengah jam kemudian, teman-teman Ramlan datang me­nolong. Mereka berenam berusaha mengangkat beton tersebut. Na­mun gagal. Akhirnya, Ramlan meminta kepada temannya untuk memotong saja kaki kanannya tersebut agar dirinya bisa dike­luarkan dari jepitan beton. Tapi, permintaan Ramlan tak bisa dilakukan teman-temannya (disarikan dari beberapa sumber).

G 30 S (Baca : Gempa Tiga Puluh September) : "Ustad, Maksiat dan Gempa serta Bugil"

Oleh : Muhammad Ilham

Margareth Marcus atawa "Mariam Jameelah" (murid kesayangan Abul A'la Al-Maududi) suatu ketika pernah mengatakan bahwa "memisahkan faktor transedental dengan kejadian-kejadian alam merupakan bentuk sekularisme paling mengkhawatirkan, namun menganggap fenomena alam bukan merupakan tanda-tanda Tuhan, justru jauh lebih mengkhawatirkan". Saya sederhanakan : ... "apabila terjadi kecelakaan, lantas kita menganggap itu merupakan kesalahan manusia semata tanpa ada takdir Tuhan disana, maka itu adalah bentuk sekularisme yang mengkhawatirkan ...... namun justru lebih mengkhawatirkan apabila kecelakaan itu kita anggap sebagai takdir Tuhan semata, tanpa melihat kesalahan yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia celaka karena tidak membaca tanda-tanda alam (rambu-rambu lalu lintas, misalnya).

Beberapa tahun yang lalu (kalau saya tidak salah tahun 2007), menjelang Ramadhan terjadi gempa yang cukup keras di Kota Padang. Satu hari jelang puasa, jam 17.00 sore, kira-kira. Hari dan saat itu, warga Padang sedang melaksanakan "tradisi kultural-teologis" a-la Minangkabau, Balimau. Ketika banyak warga sedang mandi Balimau di beberapa sungai dan tempat pemandian di Kota Padang, gempa "berdangdut". Semua orang berhamburan. Walau hanya sebentar, tapi gempa ini justru menjadi topik ceramah para pendakwah pada bulan Ramadhan kala itu, terutama di Kota Padang ................ dan itu termasuk saya yang kebetulan mengisi beberapa jadwal ceramah Ramadhan di beberapa masjid dan musholla di Kota Padang. Bila saya tak ada jadwal ceramah, biasanya saya pergi ke beberapa Masjid untuk sekedar "belajar tambahan" dari beberapa muballigh yang kebetulan ceramah di Masjid yang saya kunjungi untuk taraweh. Hampir secara keseluruhan, topik ceramah yang saya dengar berkaitan dengan gempa ......... para muballigh ini nampaknya menyadari hal-hal aktual, kala itu. Akan tetapi, kemampuan para muballigh ini merespon topik katual ini tidak diiringi oleh kearifan dalam melihat kompleksitas faktor yang melatarbelakangi gempa tersebut. Fakta sosial "Balimau" justru dijadikan sebagai penyebab an-sich terjadinya gempa. "Tahukah bapak, ibu saudara sekalian, gempa yang terjadi satu hari jelang puasa kemaren, merupakan laknat Allah karena kita masih memegang tradisi Balimau .......... seluruh laki-laki dan perempuan bercampur baur, hanya untuk mandi di seluruh sungai di Kota Padang", demikian setidaknya simpulan dan hujatan para muballigh yang saya dengar. Para muballih tersebut harusnya belajar antropologi, bahwa tradisi Balimau itu sudah menjadi tradisi-kultural Minangkabau sejak awal Islam masuk di ranah "rumah bagonjong". Walaupun secara normatif-teologis, kita harus meyakini bahwa fenomena alam merupakan sebuah takdir ............ ia memiliki qadar dan ukuran, apabila tiba masa qadar atau ukurannya, maka fenomena tersebut akan terjadi.

Pasca gempa 30 September 2009 yang lalu, sudah dua khutbah Jum'at yang saya lalui, sehingga tulisan ini dibuat. Khutbah pertama, kebetulan saya menjadi khatib di Masjid di salah satu daerah "pinggiran" di Kota Padang. Khutbah Jum'at berikutnya, saya sholat di salah satu masjid di pusat Kota Padang, sebagai makmum. Dalam khutbahnya, sang khatib yang kebetulan merupakan salah seorang khatib kondang di Kota Padang, kembali mengulang kekhawatiran Maryam Jameelah di atas. "Penyebab gempa di Kota Padang dan Padang Pariaman, Bapak-Bapak saudara sekalian, karena perbuatan maksiat yang telah merajalela di daerah kita ini", demikian intro dan analisis si khatib tersebut dengan lantang. Kemudian beliau mulai mengeluarkan data-data yang dikutipnya dari opini dan pemberitaan media massa tentang maraknya perbuatan maksiat (terutama jumlah wanita tuna susila @ poyok yang dari waktu ke waktu menunjukkan grafik peningkatan ditangkap oleh Polisi Pamong Praja) dan seterusnya dan sebagainya ........... kemudian disimpulkan : Inilah penyebab gempa. Saya lihat jamaah masjid hanya melongo (entah kagum atau heran), tapi yang jelas terdengar celetukan salah seorang jamaah yang duduk disamping saya, "kalera, manyalahan se pande-nyo, salasai khutbah ko inyo dapek pitih, nan awak pulang karumah indak punyo bareh" (baca : bullshit, ustad ini hanya pandai menyalahkan dan mengkritik saja tanpa memberikan jalan keluar terbaik, setelah khutbah ini, ia dapat uang honor sebagai khatib, sementara kita tidak memiliki beras di rumah). Saya ketawa dalam hati. Saya tahu, jamaah yang berceletuk tersebut mengerti bahwa tidak boleh berbicara ketika khatib naik mimbar, apatah lagi mengeluarkan kata-kata kotor. Di akhir khutbah, sang khatib menutup khutbahnya dengan sebuah renungan, bunyinya kira-kira begini : "Bapak-bapak, saudara-saudara sekalian, pada waktu evakuasi gempa, banyak ditemukan di salah satu hotel, orang-orang yang telah mati dalam kondisi pakaian setengah bugil dan hanya layak dipakai di kamar mandi atau mau bersetubuh ............. ini menjadi bukti bahwa kita yang mengundang gempa karena banyaknya perbuatan maksiat di sekeliling kita, seperti yang telah terjadi di salah satu hotel di kota Padang ini," demikian kata sang khatib. Terdengar lagi celetukan jamaah yang duduk di samping saya tadi, "iko ustad paniang ma, jalehlah banyak ditamuan mayat bapakaian renang di hotel Ambacang tu, namonyo ajo sadang baranang, ma lo ka mungkin bapakaian jas atau daster urang mandi ........... dalang ustad ko mah" (Ustad ini tidak memiliki analisa, sudah jelas banyak ditemukan orang mati dengan pakaian setengah bugil, maklum mayat-mayat yang ditemukan tersebut berada di kolam renang hotel Ambacang, masak orang berenang menggunakan pakaian jas ataupun daster). Saya berdiri, kemudian pergi ke tempat wudhu' ........... berwudhu' dan melepaskan tawa yang tertahan.

(Insert : Kondisi Hotel Ambacang Pasca Gempa 30 September 2009)

Jumat, 09 Oktober 2009

G 30 S/15.16 WIB (Baca : Gempa 30 September) Pukul 15.16 Sore

30 September 2009, hari itu hari Rabu, sore dengan cuaca yang sungguh sangat bersahabat. Kebetulan, hari itu saya agak cepat pulang dari kampus (sekitar 'ashar : biasanya saya betah hingga senja menjelang, walau tak ada jadwal ngajar sore). Saya sedang menunggu istri di sekolah tempatnya mengajar, sambil ber-SMS ria dengan salah seorang teman "paling gokil" yang saya kenal - Buana Mustika, "nyong Air Bangis" yang bekerja di pabrik bengkel kepunyaan negeri "sakura" di Jakarta. Tak sampai satu menit, Kota Padang, Padang Pariaman dan sekitarnya tanggal 30 September 2009 yang lalu ................ luluh lantak. 7,6 Skala Richter memberikan kontribusi terhadap kematian memiriskan ratusan anak manusia dan ratusan lagi tertimbun tanpa tahu apakah bisa ditemukan. Sungguh banyak yang ingin saya ceritakan tentang "pengalaman empirik" langsung saya seketika gempa berlangsung. Waktu gempa sedang "berdangdut", saya persis berdiri di sebuah gedung Perguruan Tinggi Swasta 4 tingkat ................... dan pada hari ke-lima evakuasi, di gedung ini telah dikeluarkan 32 mayat. Saya merasakan langsung kepanikan seorang suami pada istrinya, kepanikan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan air mata seorang dosen-pensyarah melihat kampus tercintanya "hampir tak berfungsi" karena gempa. Saya juga merasakan hilangnya rasionalitas anak manusia sesaat setelah gempa terjadi. Dan.... saya juga merasakan bagaimana "malunya saya sebagai orang Minang" dan "malunya saya pada teman-teman non-Islam". Saya ingin mencurahkan semua ini dalam 30 (tiga puluh tulisan) .................... dan akan saya posting dalam beberapa hari ke depan. Produktifitas saya belakangan ini hampir mennurun, maklum lampu baru 1 hari ini hidup di rumah saya, sementara di kantor-kampus tempat saya mengajar, hingga hari ini, lampu masih "pudua'.