Jumat, 11 September 2009

Surat dari Warga Negara Malaysia : "Mengapa Kita Harus Saling Membenci ?"

Apa kabar ? Saya Fazlee dari Malaysia. Saya rasa terpanggil untuk menulis kepada Saudara (maksudnya : jurnalis vivanews.com) sejak terbaca artikel saudara di sebuah laman web. Isu demonstrasi jalanan, pembakaran bendera Malaysia dan lain-lain sering terjadi apabila sesuatu isu berlaku. Di sini saya mempertikaikan media Indonesia yang sering membakar semangat memberontak dan tidak bersabar dalam menyelesaikan sesuatu isu. Sebelum ini, pernah terjadi isu-isu seperti di Ambalat dan wasit daripada Indonesia yang dipukul pihak Polis di Malaysia tentang isu pembantu rumah.

Harus diingat bahwa isu-isu ini bukan hanya berlaku di pihak Indonesia. Pihak kami juga pernah diperlakukan sedemikian. Di Malaysia terlalu ramai rakyat Indonesia mencari rezeki dan menyumbang tenaga mereka untuk memakmurkan Malaysia. Tetapi kebanjiran rakyat Indonesia juga mengundang kadar jenayah (baca: kriminalitas) yang tinggi seperti pembunuhan, rompakan malah pembantu rumah yang mencuri barangan majikan. Saya tidak katakan yang orang Malaysia tidak melakukan jenayah, kami juga mempunyai penjenayah yang ramai di sini. Tetapi kami tidak pernah membesarkan isu-isu ini. Bagi kami bukan negara penyebabnya, tetapi individu-individu yang pendek akal dalam menangani isu-isu tersebut. Jadi, saya rasakan yang rakyat Indonesia harus bertolak ansur dan mencari jalan penyelesaian secara damai, bukan dengan demonstrasi jalanan. Lagipun kita serumpun, kenapa perlu benci-membenci seperti begitu?

Sekian, terima kasih
Fazlee Rahman

(narasi dikutip dari www.vivanews.com/8 September 2009)

Minggu, 06 September 2009

Penjualan (Baca : Pencurian) Naskah Klasik Islam Melayu-Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham

Antropolog Levi Strauss mengatakan bahwa budaya tidak terbatas soal di mana letaknya. Namun, ketika, naskah-naskah kuno Islam (Melayu ataupun Minangkabau) dijual ke negara lain, khususnya ke Malaysia, persoalannya justru menciderai hakikat budaya itu sendiri. Penjualan naskah-naskah kuno Islam beberapa tahu belakangan ini, harus disikapi serius oleh pemerintah dan budayawan Indonesia. Hanya dalam hitungan lima tahun terakhir, sudah 60 naskah Melayu kuno Indonesia berpindah tangan ke Malaysia. Padahal naskah Melayu itu dibuat sekitar tahun 1800-an. Negara tetangga itu masih akan terus memburu dokumen cagar budaya Indonesia. Bagaimanapun naskah Melayu kuno itu menjadi kekeyaan tersendiri buat bangsa Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus melindungi naskah-naskah dari jarahan orang luar. Caranya tentulah, pemerintah harus membeli dari masyarakat yang jika memang mereka memperjual belikannya. Terjadinya penjualan naskah ini ke Malaysia, tidak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah Indonesia soal kebudayaan itu sendiri. Ini dapat dilihat, ketika pemerintah telah memisahkan kebudayaan dari pendidikan itu sendiri.

Naskah Melayu kuno itu akan menjadi barang berharga yang memiliki nilai sejarah tinggi. Naskah itu nantinya akan menjadi bahan penelitian dari seluruh akademisi dan budayawan dari belahan dunia. Maka, dengan adanya perburuan naskah kono Melayu itu, nantinya Malaysia akan menjadi pusat penelitian sastra Melayu satu-satunya di dunia. Malaysia, begitu ngotot dengan naskah melayu kuno itu karena mereka akan memperkuat identitas melayunya. Seperti slogan mereka Trully Asia, Malaysia bener-bener ingin mewujudkan negeri tersebut sebagai pusat melayu di dunia.

Seperti yang kita ketahui, lagu rasa sayange, reok, batik, kini dipatenkan menjadi karya anak bangsa Malaysia. Sebentar lagi, naskah Melayu kuno yang mereka beli dari Kepri, juga akan menjadi hak paten milik mereka. Lantas bangsa kita ini akan tetap menjadi penonton pada hasil karyanya sendiri yang sudah dimiliki bangsa lain. Naskah yang kini sudah berpindah tangan itu, antara lain, sejumlah syair, hikayat, catatan harian, Al Quran kuno yang semuanya bertuliskan tangan pada abad 19 lalu. Para pemburu naskah Melayu ini dilakukan warga Malaysia baik dari mahasiswa maupun para akedemisi. Mereka membeli dari masyarakat di Pulau Lingga, Bintan, dan Pulau Penyengat di Kepri, dan beberapa kasus yang terjadi di Sumatera Barat. Kini 60 naskah Melayu itu dengan mudah dijumpai di Pustaka Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Malaka serta museum pemerintah Malaysia. Naskah bertuliskan melayu arab itu, bakal menjadi dokomen sejarah soal akar sastra Melayu di dunia.

Rindu Dendam Indonesia - Malaysia : "Suatu Malam disaat Menjual Durian" (Bagian 4 dari 4 Tulisan)

Oleh : Muhammad Ilham

Malam Minggu, sekitar bulan Agustus 2005. Saya diajak oleh Bpk. Zainal bin Khaidir (penjual buah di Hulu Langat yang berasal dari Pesisir Selatan) berniaga buah di "pasar malam" dekat Taman Alam Jaya Cheras, Selangor. Sebelumnya, pada pagi hari (tepatnya : dinihari), saya bersama Bpk. Zainal membeli durian ke Jelebu (Jelebu ini pernah disinggung oleh Mochtar Naim dalam karya masterpiece-nya "Merantau" sebagai salah satu perkampongan komunitas perantau Minangkabau di Malaysia. Di Jelebu ini pula, ada ulama terkenal Malaysia kelahiran Padang - Almh. Syekh Ahmad Jelebu). Siangnya, setelah durian dibeli di daerah Jelebu dan sekitarnya, saya dan Bpk. Zainal membersihkan dan mengatur tempat buah-buahan di van selain durian seperti lengkeng, cempedak rimba, rambutan dan lain-lain. Siap 'Ashar, kami mandi. Setelah sholat dan makan, van dihidupkan ........... selanjutnya, saya dan Bpk. Zainal menuju Pasar Malam di dekat Taman Alam Jaya Cheras. Pasar Malam dekat Taman Alam Jaya Cheras cup ramai. Maklum, malam minggu. Taman (kalau di Indonesia : Perumahan atau Komplek Perumahan), merupakan Taman yang cukup bonafid. Di samping Taman ini, ada 5 - 6 buah Flat yang dihuni oleh orang Malaysia keturunan Cina, India dan pekerja dari berbagai negara seperti Indonesia, Banglades dan Myanmar. Karena jumlah Flat yang cukup banyak dan dekat pula dengan Komplek Perumahan, maka "pasar malam"-nya selalu hidup dan ramai. Bpk. Zainal sering berniaga buah-buahan di daerah ini.

Malam itu, setelah barang dagangan digelar, lampu dihidupkan (dengan menggunakan genset), kehidupan dan kompetisi untuk "survival in the fittest" dalam dunia niaga, mulai menggeliat. Bpk. Zainal dan saya kemudian secara bergantian pergi ke surau dekat pasar malam, Sholat Maghrib. Ketika Bpk. Zainal pergi sholat, saya berusaha menyibukkan diri untuk "belajar" menjadi peniaga ulung. Ketika sedang asyik-asyiknya "in-action", datang peniaga buah orang Malaysia keturunan Cina. Ia menggelar dagangan buahnya, persis tepat disamping kami mengelar dagangan. Saya berusaha tersenyum seadanya. Si Cina Malaysia ini, hanya diam ..... "tak ramah tampaknya", guman saya. Lampu neon-nya jauh lebih terang dari kami. Buahnya-pun jauh lebih banyak dari buah-buahan yang kami koleksi. Saya terus melongo melihat gayanya yang terkesan "over-acting" di depan saya. Beberapa saat kemudian, Si Cina Malaysia ini mengeluarkan "alat pengeras" suara dan mulai "tesszzzzzzzzzzzting" : "alo...alo.....alo, bapak, encik, puan, mali kemali, ini ada dulian bagus, dulian ai o ai (maksudnya durian jenis 101 : sering dibaca ai o ai), kena pilih, bagus-bagus". Saya diam dan sedikit menggerutu karena "kalah frekuensi" dari Si Cina Malaysia ini. Melihat saya diam, Si Cina Malaysia ini makin semangat mempromisikan dagangannya : "dulian saya ini jauh lebih bagus dalipada dulian-dulian mana-mana saja". Waaah, ia nampaknya mulai menyindir kami, karena memang waktu itu yang menjual durian di pasar malam itu, selain Si Cina Malaysia ini, yaa kami. Bpk. Zainal datang, selanjutnya menyuruh saya untuk gantian sholat Maghrib. Sebelum saya pergi ke surau, dalam bahasa Minang, saya ceritakan "introduction of provocative" yang dilakukan oleh peniaga Cina Malaysia tadi. Bpk. Zainal hanya berujar, "pergi saja sholat dulu, ini persoalan kecil". Selanjutnya saya pergi ke Surau di samping Taman Alam Jaya. Surau-nya kecil, tapi sangat bersih dan harum. Setelah selesai Sholat Maghrib, saya buru-buru menuju "markas jual beli" kami. Tak sabar rasanya ingin melihat perang kata-kata antara Bpk. Zainal dengan Si Cina Malaysia berlangsung. Ketika saya sampai di tempat dagangan buah-buahan kami digelar, saya melihat sudah banyak "pasien" Bpk. Zainal dan Si Cina Malaysia ini .......... saling menawar duran dan buah-buahan lain. Si Cina Malaysia dengan mikropon dan lampu yang lebih terang, Bpk. Zainal dengan "air ludah" tanpa mikropon. Saling sindir-pun mulai berlangsung.

Si Cina Malaysia : bapak-bapak, encik-encik, puan-puan, lebih baik kita beli dulian olang Malaysia. Duitnya untuk olang Malaysia. Kalau kita beli buah-buahan olang Malaysia, belalti kita memperkaya olang Malaysia.

Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)

Si Cina Malaysia : Jom (maksudnya : Ayo) mali beli buah-buahan saya, olang Malaysia. Jangan beli buah-buahan olang lain. Meleka hanya cali duit di Malaysia, nanti dibawanya pulang ke negala meleka. Jom encik puan, belilah dulian ai o ai, dulian pahang dan dulian thailand. Bagus-bagus lha.

Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)

Si Cina Malaysia agak mulai kesal melihat lebih banyak orang membeli buah-buahan dengan Bpk. Zainal. Kebetulan, para pembeli tersebut mayoritas langganan Bpk. Zainal dan memang style Bpk. Zainal jauh lebih bersahabat dibandingkan si Cina Malaysia ini. Melihat hal ini, si Cina Malaysia tersebut, makin "panas"

Si Cina Malaysia
: mengapa kita halus beli pada olang lain. Belilah sama olang Malaysia. Olang lain itu tak punya duit, meleka miskin di negala meleka, kalena itulah meleka datang kengala kita, mau ambil duit kita.

(Bpk. Zainal mulai tak enak hati dan berguman pada saya, "ko ndak bana ilham, alah bakalabihan bana ma ............ caliak dek wang mak tahu bana sia si Zainal ko :Ini tidak benar Ilham, sudah berlebihan betul, lihatlah sama ilham bagaimana kualitas si Zainal ini). Bpk. Zainal kemudian berdiri sambil memegang buah durian, melihat si Cina Malaysia, dan mulai bicara .....

Bpk. Zainal : encik puan, saye ni bukan orang miskin. Saya dah dari kecik merantau. Kemaren saya niaga di Singapura, besok saya mungkin nak balik lagi ke Singapura. Niaga ini bukan untuk cari duit bagi saye. Ini hobby. Duit bagi saya tak kisah. Tanah saya di Indonesia luas. Memang saya suka merantau, tapi bukan untuk cari duit. Makan saya nasi Padang, minum saya teh telo, bukan roti canai dan teh tarik. Saya tak mungkin tipu encik puan dalam niaga ini, karena memang saya tak mau cari untung banyak sangat, saya niaga karena hobby".

Memakan Nasi Padang dan Minum Teh Telur dianggap sebagai refleksi "high-class" karena kualitas dan harganya yang cukup tinggi dan mahal, berbanding terbalik dengan Roti Canai dan Teh Tarik yang dianggap oleh orang Malaysia sebagai "makanan tradisional-popular dan familiar" di tenagh-tengah masyarakat. Disamping mudah dijumpai, harganyapun sangat murah -- setidaknya untuk ukuran orang Malaysia.

(Si Cina Malaysia diam ........... para pembeli mulai banyak transaksi dengan kami. Saya sampai kewalahan melayani mereka, sementara Bpk. Zainal terus dan terus menyerocos. Setiap Cina Malaysia bicara, Bpk. Zainal pasti bisa menangkisnya dengan telak. Akhirnya ........... Si Cina Malaysia ini menutup dagangannya malam itu, sambil menggerutu dalam bahasa yang tidak saya mengerti (mungkin bahasa mandarin), Si Cina Malaysia ini mengemas buah-buahan dagangannya satu persatu, mematikan mikropon dan genset, menghidupkan mesin van, dan selanjutnya ................ pergi dengan wajah yang tidak "bersahabat" ketika saya sapa kembali. Karena kompetitor sudah pergi, maka kemudian mudah ditebak : dagangan kami habis-ludes. Bpk. Zainal ketawa sambil berkata, "Awak lo nan kan di ukuanyo, kalo samo-samo manngaleh, manggaleh sajolah, indak kan digaduah-gaduah ndo, ko ndak, nenek moyang wak pulo nan kan diukuanya". (Saya pula yang ditantangnya - maksudnya ditantang peniaga Cina Malaysia tadi. Kalau sama-sama berniaga, kita sama-sama menjaga etika. Ini tidak, kampung halaman dan harga diri kita pula nan disebut-sebutnya).

Ketika kami mau pulang, timbul kekhawatiran pada diri saya. Ada ketakutan Si Cina Malaysia tadi akan datang kembali dengan membawa teman-temannya, "memberi pelajaran" pada kami. Perasaan ini lumrah, karena saya beranggapan bahwa Si Cina Malaysia pasti merasa bahwa ia adalah pribumi, sementara kami adalah pendatang. Si Cina Malaysia ini pasti merasa terhina karena dikalahkan oleh pendatang. Hal ini kemudian saya utarakan pada Bpk. Zainal. Sambil menaikkan genset ke van yang sudah kosong karena buahan-buahan sudah "abih-tandeh" dibeli konsumen, Bpk. Zainal berkata, "Ilham, ini Malaysia .... tak sama dengan Indonesia. Kalau kasus tadi terjadi di Indonesia, mungkin kita akan dipukul dan diusir, tidak boleh berniaga karena kita pendatang. Di Malaysia tak akan pernah terjadi. Inilah enaknya berniaga di Malaysia". Saya diam .......... dan memang, hari-hari berikutnya Si Cina Malaysia ini tidak datang dengan kawan-kawannya untuk menggertak kami. Justru, ia mencari lokasi lain, menyingkir karena mengakui kelebihan Bpk. Zainal sebagai presenter buah-buahan terbaik, setidaknya dibandingkan dengan dirinya.

Ketika dalam perjalanan pulang, saya bertanya pada Bpk. Zainal, "Pak, betul niaga ini hobby bapak, kenapa tidak manfaatkan saja tanah yang luas dikampung daripada merantau ke Malaysia?". Bapak Zainal terbahak-bahak dan berkata, "terpaksa ilham, kerja nggak ada lagi, jadi terpaksa berniaga. Tanah di kampung lah habis, maka merantau inilah jalan terbaik". Padeeek !!!!!!

Jumat, 04 September 2009

Rindu Dendam Indonesia - Malaysia : "Lebih Baik Hujan Emas di Negeri Orang daripada Hujan Batu di Negeri Sendiri" (Bagian 3 dari 4 Tulisan)

Oleh : Muhammad Ilham

Ada pertanyaan yang terus bergelayut dalam benak saya : "Mengapa para TKI (baca : pahlawan devisa Indonesia), terkadang ditangkap karena faktor dokumen yang tidak lengkap, terkadang dihina, disakiti, diusir dan disabat (dirotan) ...... namun mereka tetap betah di Malaysia untuk "berimprovisasi hidup" dan ingin kembali lagi ke negeri Hang Tuah ini, bila dipulangkan ke Indonesia?". Diantara banyak faktor yang menyebababkan hal di atas terjadi, faktor EKONOMI merupakan faktor super-signifikan. Namun, ada faktor-faktor "kecil" yang justru membuat para TKI tersebut menjadi "at-home" di Malaysia. Untuk melihat faktor-faktor "kecil" tapi signifikan tersebut, saya akan bercerita tentang dua cerita ringan berdasarkan pengalaman emipirik saya yang pantas untuk diceritakan.

Cerita Pertama. Namanya Dasril, asal Pesisir Selatan. Saya lupa-lupa ingat (meminjam istilah KuburanBand), dimana kampung kecilnya di Pesisir Selatan. Tapi yang pasti, waktu pertama sekali saya mengenalnya, ia masih bujangan, dan ketika saya berinteraksi selama lebih kurang 2-3 bulan pada tahun 2005 pertengahan, ia berumur 28 tahun, kurang lebih. Berdomisili (dalam bahasa Malaysia : "bermastautin") di Hulu Langat, Selangor. Pekerjaannya di Malaysia, 3 jenis : menyadap getah, berniaga buah dan menjaga kebun orang Melayu. Ia masuk ke Malaysia sejak tahun 1999, mengikuti kakaknya yang telah memiliki IC Biru. Selama rentang 6 tahun tersebut (1999-2005), Dasril sudah dua kali masuk penjara, tertangkap karena "kosong" (istilah tidak memiliki dokumen), satu kali di sabat (dipukul dengan rotan ke arah daging pinggul bagian atas, dan biasanya setelah disabat tersebut, butuh 3 hari untuk tidur menelungkup) dan dua kali di usir. Ia pernah lari ke hutan, sendirian sambil menghuni satu kebun orang Melayu yang simpati padanya. Saya pernah dibawanya ke kebun (tepatnya : hutan belantara) tersebut, sungguh lengang dan mirip dengan suasana yang diceritakan Pramudya Ananta Toer tentang pulau Buru). Disinilah waktu dulu, Dasril hidup kayak "Rambo", makan buah-buahan dan sesekali dikirimkan beras oleh temannya orang Melayu yang simpati padanya. Temannya yang orang Melayu ini tidak begitu leluasa berkirim makanan pada Dasril karena takut ketahuan oleh Rela (semacam Tim Pol PP a-la Indonesia yang bertugas menswipping TKI Illegal). Apabila ketahuan, konsekuensinya jelas : masuk lokap @ penjara. Walaupun kondisi seperti ini, Dasril tetap bertahan dan tidak ingin pulang ke Indonesia. Ketika keluar kebijakan "pemutihan" pada awal pemerintahan PM Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, Dasril keluar dari "pertapaannya", dan kemudian memanfatkan momentum ini untuk menyelesaikan administrasi-dokumen. Ia kembali ke Indonesia, untuk beberapa bulan. Setelah itu, ia masuk kembali ke Malaysia. Atas jaminan kakak dan kawan melayu-nya, ia memperoleh visa untuk berniaga buah dan menyadap karet.

Ketika saya tanyakan, mengapa tekadnya begitu kuat untuk tetap bertahan di Malaysia, bahkan mau "bertapa" di hutan belantara dan pinggulnya masih terlihat jejak bekas sabat-rotan (dan, konon katanya kawannya, "burungnya" sulit untuk hidup dan berpotensi impoten, mungkin karena "hempasan kuat" rotan waktu disabat). Saya bahkan memberikan argumentasi-logis bahwa selama 6 tahun beliau berniaga dengan "onak duri kehidupannya", toh Ringgit-pun tak diperolehnya dalam jumlah banyak, bahkan mungkin ia merugi. Lebih baik pulang ke Indonesia, berniaga di Padang atau Pesisir Selatan atau di Jakarta atau dimana saja, mungkin uang banyak yang bisa dikumpulkannya. Dasril menjawab, "disamping lambaian ringgit yang luar biasa, ketenangan berniaga dan berusaha di Malaysia jauh lebih aman dibandingkan di Indonesia ....... asal dokumen lengkap. Dalam berniaga, di Malaysia, bila dokumen lengkap, kita tak punya musuh. Di sini tak ada "orang bagak", preman yang minta uang, harus melapor ke sana ke mari jelang berniaga dan seterusnya. Berniaga di kampung orang Cina atau orang India, berdekatan dengan mereka bahkan bersaing dengan mereka tidak akan membuat kita khawatir. Tidak akan ada kata-kata : "pergi......... kamu orang Indonesia, ini wilayah peniaga India atau Cina, tidak boleh berniaga di sini. Di Indonesia, saya jamin kata Dasril, saya yang orang Pesisir Selatan akan kesulitan berniaga di daerah orang Pariaman apatah lagi kalau tidak melapor pada "orang bagak". Ringgit ............ nanti akan bisa terkumpulkan. Namun, suasana batin yang tenang-lah yang ingin dicari Dasril. Ia telah belajar, dokumen sebagai bentuk penghormatan. Orang akan memberlakukannya dengan hormat, apabila dokumennya lengkap. Ketika dokumen telah "ditaklukkannya", Dasril mulai merasakan bagaimana "nikmatnya" berniaga di Malaysia...... ia tidak mengenal pungutan liar, orang bagak, preman, kecemburuan etnik (orang pribumi-pendatang) dan pencurian. Bahkan, ia pernah menghardik orang Melayu asli di perkampungan Melayu di Sungai Lui Hulu Langat karena menghina profesi dan negaranya. Orang Melayu ini minta maaf dan tak pernah lagi mendengar : "hei kamu orang Indon, tak boleh berniaga di Malaysia". Ini yang dianggapnya tidak akan pernah didapatkannya bila berniaga di Indonesia. Sekarang, saya tidak tahu dimana Dasril berada. Tapi dua tahun yang lalu, saya dapat kabar dari kawan-kawan perantau Pesisir Selatan di Selangor bahwa Dasril berada di Pahang. Ia nomaden, mengikuti ritme musim durian. Konon ...... ia telah punya istri, orang Bangladesh (biasanya orang Malaysia menyebut dengan istilah orang Bangla dan konon, menjelang nikah ia mengobati "burungnya" sama orang India), muslimah-cantik dan telah punya Van (mobil khas untuk berniaga buah). Alhamdulillah, ia telah mapan. Mungkin ia telah melupakan Indonesia. Ia tidak mau tahu dengan nasionalisme, Ambalat apalagi cerita melankolik Manohara. Ia lebih mau tahu dengan kepastian dan kehormatan kehidupannya. Dan untuk itu, mungkin ia merasa bahwa ia lebih bisa "hidup" dan hormat ketika ia hidup di Malaysia.

Cerita Kedua. Karena menghemat biaya dan agak sedikit "takut terbang", saya biasanya naik Feri ke Malaysia, dari Padang - Dumai - Malaka - Kuala Lumpur. Disamping biaya lebih murah, tapi meletihkan, menggunakan transportasi mobil dan feri tersebut justru memberikan pengetahuan-pencerahan bagi saya melihat secara empirik bagaimana orang diperlakukan dan memperlakukan seseorang. Tak luput dengan para TKI. Dalam setiap perjalanan dengan feri, pasti saya akan mencari TKI untuk sekedar ber-"curhat" dan belajar dari mereka. Dari bolak-baliknya saya Malaysia-Indonesia via Feri Dumai-Malaka, ada satu hal yang sangat membuat saya trenyuh. Umumnya, para TKI yang pulang dan pergi via Feri Dumai-Malaka ini, akan merasa deg-degan melewati imigrasi Indonesia (dalam hal ini imigrasi Dumai) dibandingkan dengan imigrasi (imigresen) Malaysia di Malaka. Simpulan dari percakapan saya dengan para TKI sewaktu berada di feri Dumai-Malaka tersebut, bahwa para TKI telah menstrukturkan sebuah "image" dan berlaku sebuah teori : "bila dokumen lengkap, maka imigresen di Malaka akan aman, walau ketika "masuk" maupun "keluar". Bila dokumen kita lengkap, apalagi ketika kita kembali dari Malaysia, maka kita belum tentu aman di imigrasi Dumai".

Indonesia ........................... mungkin cerita diatas bisa memberikan kita pencerahan. Nasionalisme sejati itu adalah sebuah ideologi yang diejawantahkan oleh negara untuk mampu memberikan kepastian "kehidupan" bagi warganya. Kalau tidak, nasionalisme itu ibarat "candu" seperti yang dikatakan oleh Jacquess Derrida (mungkin ia meniru tipologi Marx : "Agama adalah Candu") - meninabobokkan karena ketidakmampuan mengatasi persoalan yang lebih substansial.

Rindu Dendam Indonesia - Malaysia : "Kenalkan, Nama Saya Zainal bin Khaidir" (Bagian 2 dari 4 Tulisan)

Oleh : Muhammad Ilham

(Pernah dipublikasikan dalam Harian Umum HALUAN, 25 Januari 2005). Namanya Zainal bin Khaidir. Kira-kira berusia 50 tahun. Asal Bayang Pesisir Selatan. Mulai masuk secara legal ke Malaysia pada tahun 1983. Dua tahun sebelumnya, pak Zainal berjualan obat dengan ma ota di Singapura. Sekarang menetap secara permanen di Sungai Serai Hulu Langat Kajang. Radius 4 kilometer, mulai dari Suntex Batu 9 hingga Jelebu (Jelebu pernah disinggung oleh Mochtar Naim dalam bukunya Merantau sebagai daerah yang banyak didiami oleh migran Minangkabau tapi sekarang tidak ada lagi bahkan daerah ini identik dengan seorang politisi Malaysia yang memiliki darah Minangkabau, DR. Rais Yatim) yang mayoritas didiami etnis Cina totok Malaysia, pak Zainal cukup dikenal. Beliau bersama dengan anak-anaknya telah menjadi warga negara Malaysia penuh, sementara istrinya belum. Sehari-hari berprofesi sebagai penjual buah sehingga “Zainal si Penjual Buah” lebih dikenal dibandingkan dengan Zainal bin Khaidir. Untuk ukuran masyarakat Indonesia di Malaysia, kehidupan pak Zainal lumayan bagus. Satu buah van dan satu buah truk buah dimiliki serta satu kepastian hukum yang sekarang banyak diidam-idamkan para TKI yaitu pengakuan sebagai “Warga Negara Malaysia”.

Pengakuan sebagai WN Malaysia dengan sendirinya mengangkat strata masyarakat pendatang di Malaysia. Walaupun tidak ada konsensi sosial tersendiri, tetapi dalam realitas sosial masyarakat pendatang Indonesia di Malaysia terdapat empat kelas. Kelas paling tinggi adalah pendatang Indonesia yang telah diakui sebagai WN Malaysia. Umumnya mereka telah “masuk” ke Malaysia sebelum tahun 1980-an. Ketika seseorang telah diakui sebagai WN Malaysia, maka jaminan pendidikan dan jaminan sosial mereka terjamin. Disamping diberi kemudahan dalam berniaga dan memiliki hak-hak politik, anak-anak WN Malaysia asal Indonesia diberi kesempatan sama dengan komunitas Melayu, India dan Cina Malaysia di bidang pendidikan. Mulai dari Tadika (Taman Kanak-Kanak) hingga Perguruan Tinggi, biaya pendidikan mereka dipermudah oleh kerajaan dengan jalan memberikan pinjaman biaya pendidikan. Pinjaman ini dikembalikan dalam prosentase yang rendah dan dalam rentang waktu yang sangat panjang, ketika si anak telah mulai bekerja. Mereka umumnya bangga dengan status kewarganegaraan Malaysia mereka. Pada tingkatan anak-anak, Indonesia bagi mereka hanyalah cerita nenek moyang. Sedangkan bagi orang tua mereka Indonesia adalah “tetap tanah air mereka”. Bahkan menurut beberapa kajian departemen Sosiologi Universitas Kebangsaan Malaysia, latar belakang para pendatang Indonesia menjadi WN Malaysia lebih dikarenakan pertimbangan pragmatisme-ekonomi (walaupun untuk kasus Aceh lebih disebabkan karena faktor keamanan) sehingga tidaklah mengherankan apabila pemerintah Kerajaan Malaysia sekarang ini sangat “luar biasa” sulit memberikan status WN bagi para pendatang yang telah memenuhi syarat administrasi. Tajuk Koran Berita Malaysia bulan Desember 2005 yang lalu mengatakan bahwa persoalan terbesar Malaysia adalah bagaimana memupuk nasionalisme dan sense of belonging diantara tiga puak besar : Melayu, Cina dan India. Pemberian status WN bagi pendatang asing justru menambah problem tersendiri bagi pemupukan nasionalisme itu sendiri. Laporan dari kajian departemen Sosiologi UKM setidaknya menunjukkan kekhawatiran pemerintah kerajaan Malaysia tersebut.

Kelas kedua adalah para pendatang Indonesia yang memperoleh IC (identity card) Merah. IC atau KTP bagi kita di Indonesia, di Malaysia terdapat dua jenis yaitu IC Biru dan IC Merah. IC Biru merupakan kartu identitas khusus bagi mereka yang telah menjadi Warga Negara Malaysia. Pemegang IC Biru ini berhak mendapatkan kemudahan sosial, ekonomi dan politik. Sementara itu, pemegang IC Merah hanya diperbolehkan untuk menikmati kemudahan ekonomi seperti boleh bekerja dan berdagang, sedangkan untuk memiliki rumah melalui developer, meminjam uang di Bank dan memilih dalam Pemilihan Umum (Pilihan Raya dalam bahasa Malaysia) tidak diperbolehkan. Umumnya, pendatang Indonesia yang memiliki IC Merah ini cukup banyak. Mereka datang ke Malaysia selepas tahun-tahun 1980-an. Biasanya pemegang IC Merah masih menganggap diri mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Keinginan untuk memiliki status WN Malaysia umumnya hanya mereka harapkan pada anak-anak mereka yang lahir dan besar di Malaysia. Pemberian IC Merah ini merupakan alternatif bagi pemerintah kerajaan Malaysia bagi mereka yang telah memenuhi syarat untuk menjadi WN Malaysia. Teman-teman saya di Malaysia sering mengistilahkan pemegang IC Merah sebagai “warga negara antara”. Sama halnya dengan pemegang IC Biru, pemegang IC Merah relatif tenang dalam menjalani kehidupan mereka di Malaysia.

Sedangkan kelas ketiga adalah para pendatang yang memegang izin tinggal atau Permit. Umumnya mereka ini adalah para pekerja kontrak dan pembantu rumah tangga. Setiap tahun mereka memperbaharui izin tinggal mereka dengan membayar uang sesuai dengan "level" kerja mereka. Istri pak Zainal bin Khaidir misalnya, setiap tahun harus membayar RM. 3000 (tiga ribu ringgit Malaysia). Kalikan saja dengan Rp. 2.500,-/ringgit.

Rindu Dendam Indonesia - Malaysia : Nasionalisme dari Makmal Komputer (Bagian 1 dari 4 Tulisan)

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih ingat, ketika itu tahun 2005 pertengahan. Ketika itu, hubungan Indonesia-Malaysia sedang memanas. Dan ketika itu, isu Ambalat menempati rating tertinggi dalam pemberitaan media massa Indonesia. Waktu itu saya sedang “hinggap” dan “singgah” untuk berkontemplasi ilmu (Post Graduate) disebuah Perguruan Tinggi di Malaysia, yang menurut saya merupakan Perguruan Tinggi “ramah” lagi “intelek” – Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Waktu itu, saya masih ingat, jam 09.00 pagi, lebih kurang. Seperti biasa, sebelum saya masuk kelas Bahasa Melayu, saya masih menyempatkan diri untuk masuk ke Makmal Komputer – untuk sekedar browsing atawa chatting. Dari Senen hingga Juma’t, hal ini biasa saya lakukan, bahkan sering. Untuk tahun 2005, memanfaatkan sarana computer + internet dengan gratis (dalam bahasa Malaysia, baca : percuma), adalah sesuatu yang langka bagi saya dan “kami” pelajar Indonesia kala itu. Internet di Indonesia, walaupun itu di kampus, untuk tahun 2005 masih membayar 2.000 – 3.000/jam. Karena itulah, pada jam-jam perkuliahan, Makmal Komputer Universiti Kebangsaan Malaysia tersebut banyak “dihinggapi” oleh pelajar/graduan Indonesia – dan ada beberapa orang graduan Malaysia dan negara lain. Tapi tetap, graduan Indonesia menjadi “pemakai percuma” terbanyak. Logis, graduan Indonesia banyak yang kere-kere, apalagi saya. Karena itu pulalah, saya selalu berangkat pagi-pagi dari tempat tinggal saya di Batu 13,5 Sungai Serai Hulu Langat Selangor – sebuah kampong yang mayoritas dihuni oleh orang Minangkabau, terutama yang berasal dari Pesisir Selatan. Sebuah kampong yang “identik” dengan peniaga buah dan ice cream. Mereka akan menjual buah, terutama durian, ketika sedang musim. Dinihari mereka akan pergi ke Pahang ataupun Jelebu untuk membeli buah durian dari kebun tekong Cina atau Tok Melayu. Sorenya mereka akan menyebar ke Pasar-Pasar Malam di berbagai Flat di sekitar Selangor ataupun Kuala Lumpur. Apabila musim buah sudah mulai berakhir, maka mereka akan beralih menjadi peniaga ice cream.

Naik bus ke Batu 9 Suntex, sambung lagi ke Bandar Kajang, terus naik lagi bus ke Bandar Baru Bangi UKM dengan sopirnya mayoritas orang India. Asyik melihat mereka. Saya masih ingat, nama seorang supir Bus orang ke Bandar Baru Bangi ini ....... orang India Malaysia bernama Thiagaraj A/L Subramaniam. Saya awalnya heran, apa maksud : "A/L". Hampir satu minggu saya menerka-nerka. Akhirnya, saya bisa memecahkan misteri Antonim "A/L" tersebut dari informasi seorang penambal sepatu di sudut Kedai Satay Kajang ..... A/L kataya kependekan dari "Anak Laki-Laki". Ohhhhh ..... berarti Thiagaraj BIN Subramaniam. Thiagaraj selalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya ajak ia bicara dalam perjalanan dari Bandar Kajang ke Bandar Baru Bangi. Setiap ia menggeleng-gelengkan kepalanya, saya teringat Aamir Khan dan Shah Rukh Khan ... itu lho, aktor Bollywood yang selalu menggeleng-gelengkan kepalanya bila bicara. Sayang, Thiagaraj tak senasib dengan Aamir Khan dan Shah Rukh Khan, baik dari ekonomi apatah lagi dari sudut "tampang" muka. Tak ketemu. Biasanya ketika turun di Bandar Baru Bangi, saya akan sedikit berlari-lari menuju kampus UKM yang asri lagi bersih …… dengan tujuan Makmal Komputer + Internet yang bias dipakai secara “percuma” tersebut. Saya takut terlambat.

Kembali lagi ke cerita di atas, jam 09.00 pagi, lebih kurang. Saya masuk ke Makmal dengan sedikit kecewa. Rupanya, dua bilik (baca: ruangan) makmal computer tersebut sudah penuh diisi oleh “pemakai percuma”. Hampir 2/3 graduan Indonesia, selebihnya graduan Malaysia. Suasana saya lihat kala itu agak sedikit lain. Biasanya graduan Indonesia agak terkesan santai, namun kali ini saya menangkap ada “aura”panas pada mereka. Hampir semua graduan Indonesia serius membuka internet. Saya lihat, situs yang mereka buka hamper sama : detik dot com dan liputan enam dot com (hee..he… bertele-tele). Sementara graduan Malaysia …….. santai sambil sesekali bercerita dengan teman-teman di sebelah mereka. Saya hanya berdiri …………….. sambil sesekali berharap kiranya ada satu orang yang keluar dari Makmal tersebut, dan hal ini akan membuat penantian saya untuk menjadi “pemakai percuma” bias diakhiri. Tapi, hamper satu jam saya berdiri, tak satupun dari “pemakai percuma” ini mengakhiri “petualangan dunia maya” mereka. Sambil terus berdiri dan sedikit menggerutu, suasana Makmal kemudian dikejutkan dengan terikan salah seorang dari “pemakai percuma” tersebut, “Bila Malaysia memulai, Indonesia mengakhiri”…………… mari pertahankan Ambalat, mari perangi Malaysia”. Ada aura nasionalisme sedang bertumbuh dalam ruangan tersebut. Saya buru-buru menghampiri salah seorang teman dan berusaha untuk mencari “latar belakang” teriakan teman yang berteriak tadi. Rupanya ………….. detik dot com dan liputan enam dot com mengutip pernyataan dari Panglima TNI Jenderal (TNI) Endriartono Sutarto yang menyatakan siap perang dengan Malaysia demi mempertahankan Ambalat. Seketika saya-pun berujar ….. “haaaaaaaaaa padek, bagak, lanyau”, dengan rona wajah cerah-merah seperti wajah Hitler ketika marah pada Yahudi dalam pidato penuh emosional di Austwitz.

Namun, lambat laun akhirnya saya sadar bahwa saya berada di negara dimana kegeraman itu tertuju, saya dan teman-teman berada di ruangan yang sama dengan teman-teman dari negara dimana kegeraman tersebut dilandakan. Saya tengok ke teman-teman graduan Malaysia yang tidak begitu banyak di ruangan tersebut, saya pandangi wajah mereka …… hanya sekedar untuk melihat reaksi yang mereka berikan. Mereka tersenyum, tetap santai main internet sambil sesekali bercerita lepas dengan teman mereka tentang hal yang “tidak saya ketahui”, tapi bukan tentang “kami” apatah lagi tentang Ambalat. Sementara teman-teman saya, para “pemakai percuma” graduan Indonesia tersebut, terus berciloteh dengan hembusan kata-kata pembangkit nasionalisme. Ada sedikit rasa segan dan silau saya pada graduan Malaysia kala itu. Kami ini seperti Muhammad Hatta, Syahrir, Nazir Sutan Pamuntjak dkk. yang melawan dan menghembuskan nasionalisme-keIndonesiaan dari jantung penjajah – mereka berteriak dari Rotterdam, bukan dari Bandung atau Bengkulu a-la Sukarno.

Dari rasa segan, terus menuju rasa takut. Maklum, saya berada di negera dimana teman-teman saya sedang meluapkan kebencian mereka. Akhirnya saya ambil jalan pintas, saya mendekat dengan teman-teman graduan Malaysia – karena saya tak mampu meredamkan “gejolak” teman-teman graduan Indonesia kal itu. Saya ingin memberikan sebuah diskusi empatik dengan para graduan Malaysia di ruangan tersebut dan ingin meyakinkan kepada mereka bahwa “patologi” yang terjadi dalam ruangan Makmal itu hanyalah sekedar bentuk ekspresi spontan tanpa bermaksud menyakiti Negara Malaysia, apatah lagi menyinggung para graduan Malaysia yang ada bersama-sama dengan kami. Tanpa mereka minta, saya mulai memberikan argumentasi pada mereka. Mereka tersenyum, dan menjawab : “kami tak kisah dengan kes Ambalat, kami hanya yakin bahwa kes itu boleh diatasi dengan baik oleh pemimpin-pemimpin kami, sudah ada job dan kami tak mau masuk ke dalam kes itu, biarlah pihak kerajaan Malaysia dan kerajaan Indonesia yang menyelesaikannya”. Saya diam, tak bicara lagi. Saya berdiri, tak nak mencari posisi untuk duduk sebagai “pemakai percuma”, tapi saya berdiri untuk keluar dari Makmal dan terus keluar menuju kafetaria jelang Perpusatakaan Tun Sri Lanang.

Sambil duduk menikmati Teh Tarik dan sedikit nasi dengan sambal yang saya lupa namanya, saya berusaha kembali mencerna kata-kata teman-teman para graduan Malaysia di ruangan Makmal tadi. Ada sebuah kedewasaan tapi juga ada sebuah kepasrahan. Dewasa melihat persoalan bahwa masalah Ambalat tersebut merupakan “persoalan High Politic” – dan mereka ingin sampaikan pesan : sudah ada yang mengurusnya, kita doakan dan dukung saja. Dan nampaknya mereka sangat menghargai teman-teman saya “para pemakai percuma” yang terus menerus mengobarkan rasa sentiment Malaysia di rungan kepunyaan orang Malaysia di tempat yang benama Malaysia. Namun disisi lain, terlihat oleh saya bahwa para graduan Malaysia ini terlampau “mudah” memberikan urusan negara mereka hanya kepada para elit politik negara. Jawaban mereka bahkan terkesan terjadi dekonstruksi-nasionalisme (secara teoritik lebih lanjut lihat teori post-modernisme). Ada kesan apatis, acuh tak acuh, tidak mau tahu dan sedikit takut walaupun hanya untuk “sekedar berbicara tentang kasus yang sensitive" (BERSAMBUNG)