Sabtu, 22 Agustus 2009

Entah Mengapa Malaysia Bukan Dianggap "Saudara Serumpun"

Oleh : Muhammad Ilham

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya siap Pemilihan Presiden, saya bersama dengan beberapa orang teman-teman melakukan survey-semi kualitatif tentang “Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Pemilihan Presiden 8 Juli 2009”. Daerah yang saya ambil sample-nya adalah daerah di sepanjang pantai barat Pasaman Barat. Sebab daerah tersebut adalah daerah dengan rata-rat tingkat pendidikan masyarakat cukup rendah, namun tipikal masyarakat terbuka. Saya tak akan kemukakan analisis mendalam tentang hasil survey tersebut, yang pasti lebih dari 77 % masyarakat mengatakan Pemilihan Presiden barusan “jujur” dan “adil” dan menganggap persoalan DPT adalah sesuatu persoalan yang “tidak mereka pahami dan bukan sesuatu yang penting”. Dalam survey-semi kualitatif itu, “sambil lalu” saya juga menyelipkan satu pertanyaan di luar konteks yaitu pertanyaan dengan nada provokatif : “Negara mana yang saudara anggap sebagai lawan” – dengan metode pertanyaan stimulus tanpa memberikan pengetahuan tentang pertanyaan tersebut pada responden.

Dari 673 responden, didapatkan 3 negara yang dianggap mereka sebagai lawan, 2 negara pertama mudah saya cerna, namun negara yang ketiga cukup menyentakkan ranah rasionalitas saya. Negara Israel mayoritas (51 %) dianggap sebagai lawan. Ditempatkannya Negara Israel sebagai peringkat 1 negara yang dianggap sebagai lawan tersebut memiliki justifikasi metodologis dimana 100 % responden adalah muslim dan media massa (dalam hal TV) bukan lagi menjadi sesuatu yang langka. Pada umumnya, mereka kenal dengan negara Israel (baca: yahudi) sejak kecil .......... artinya, potensi ketidaksukaan tersebut sudah ada sejak mereka belum memiliki suatu alasan argumentatif mengapa mereka harus benci dengan negara "Dinding Ratapan" ini. Negara kedua yang dianggap sebagai lawan adalah Amerika Serikat (37 %) dengan mayoritas respondennya adalah kalangan yang respek dengan gerakan radikal Islam belakangan ini. Bagi mereka, Amerika Serikat adalah negara yang memiliki kontribusi besar terhadap degradasi moral dan kemunduran ummat Islam. Bahkan, ketidaksukaan dengan Amerika Serikat ini juga ada korelasi simetris dengan ketidaksukaan dengan Israel. Sementara itu, selebihnya (12 %) menganggap Malaysia sebagai negara yang harus diposisikan sebagai lawan Indonesia. Simpulan terakhir inilah yang cukup mengejutkan saya. Mayoritas yang menjawab Malaysia sebagai negara yang harus dianggap sebagai lawan tersebut adalah kalangan muda. Ketika stimulus pertanyaan dikembangkan lagi, penyebab kebencian mereka terhadap Malaysia terakumulasi pada 3 kata kunci : “TKI dengan devian Penyiksaan”, “Plagiat” dan “Ambalat”.

Saya belum sempat melakukan analisis lebih mendalam dan mensintesakannya dengan beberapa teori atau hasil penelitian terdahulu. Namun ini menjadi catatan penting bagi dua negara “serumpun” ini. Responden dari kalangan muda yang melihat bahwa Malaysia menjadi negara yang pantas dianggap sebagai “lawan”, cukup menyentakkan kita tentang potensi harapan terciptanya “hubungan ramah mesra” pada masa yang akan datang. Kalangan tua nampaknya tidak lagi ambil pusing dengan romantisisme “Ganyang” a-la Sukarno. Mereka justru lebih melihat Israel dan Amerika Serikat sebagai “lawan”, maklum usia yang tua justru secara psikologis-sosiologis, lebih memiliki kecenderungan untuk memberikan justifikasi yang bernuasakan teologis, "seakan-akan ketidaksukaan terhadap Israel-Yahudi tersebut telah memiliki legalitas-justifikasi teologi keagamaan". Beda dengan kalangan muda yang dekat dengan idiom nasionalisme. Ekspos media tentang plagiat-nya Malaysia seperti kasus “Rasa Sayange”, “Reog Ponorogo” maupun "Batik" dan seterusnya serta drama-melankolik Manohara maupun “penyiksaan TKI” membuat banyak kalangan muda – setidaknya berdasarkan survey tersebut – mengganggap Malaysia lebih berbahaya dibandingkan dengan Negara Yahudi sekalipun.

Saya pribadi justru mendapat kesan positif, dari proses interaksi saya dengan masyarakat Malaysia (terutama Melayu) ketika untuk beberapa waktu “berkontemplasi”, studi Post Graduate di UKM Malaysia. Secara sepintas saya memahami bahwa masyarakat Melayu Malaysia menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah saudara mereka. Tapi entah mengapa, para pemimpin negara Malaysia seakan-akan tidak menyadari atau setidaknya “sejalan” dengan masyarakat mereka (baca: Melayu) – berdasarkan pemahaman subjektif saya selama ini. Buktinya, setelah kasus Ambalat, Rasa Sayange-Reog Ponorogo-Batik dan drama melankolik Manohara serta penyiksaan TKI mulai mereda dan masyarakat Indonesia mulai secara “setapak demi setapak” menganggap Malaysia adalah “(memang) saudara serumpun”, klaim Tari Pendet oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Malaysia dalam brand-icon pariwisata Malaysia baru-baru (walaupun belakangan Embassy Malaysia di Jakarta mengatakan bahwa semua itu bukan kebijakan kerajaan, tapi lebih kepada improvisasi sebuah "Production House"), kembali mempertegas bahwa Malaysia seakan-akan tidak pernah berhenti “memprofokasi”. Apalagi, pembelian (tepatnya : pencurian) naskah-naskah klasik Islam Melayu Indonesia oleh praktisi-ilmuan ataupun "pedagang" Malaysia terus diekspos dalam media massa Indonesia. Keinginan untuk menjadikan Malaysia sebagai "Trully Asia" justru berpotensi mengorbankan "Trully Genetic". Beberapa malam yang lalu, saya menelepon salah seorang responden saya dan menanyakan sikap mereka terhadap kasus "Tari Pendet" yang diekspos besar-besaran oleh akhbar/media massa Indonesia belakangan ini ......... ia mengatakan, "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak mau serumpun dengan kita, negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak pernah mau tahu dengan "gondoknya" kita ....... negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut dan seterusnya .... bla....bla. Reaksi saya ......... ketawa dan saya sudah bisa memprediksi jawaban apa yang akan saya dapatkan. Tapi ada satu yang membuat saya heran ..... sang responden tersebut jarang sekali menggunakan istilah negara/rakyat Malaysia (sebagaimana beberapa waktu lalu ketika saya wawancarai). Dalam percakapan telepon tersebut, ia nampaknya lebih suka menggunakan istilah "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut". Semoga Allah SWT. memberikan yang terbaik bagi persaudaraan "Trully Genetic" ini.

Senin, 17 Agustus 2009

Naskah Islam Klasik di Minangkabau : Tantangan Epistimologik

Oleh : Muhammad Ilham

(Tulisan ini merupakan "bentuk lain" dari Proposal Penelitian yang ditawarkan pada Lektur Keagamaan Departemen Agama RI ...... masih mentah dan on-track)
Tradisi penulisan, penyalinan dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkorelasi dengan proses Islamisasi yang terjadi (Uka Tjandrasasmita, 1999:201). Umumnya naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keIslaman yang terjadi di pelbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang dan lain-lain (Hasan Muarrif Ambary, 1995: 166). Dalam kalangan masyarakat Minangkabau, tradisi penulisan dan persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan dilakukan secara terus menerus (kontiniu), seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Mayoritas para ahli sejarah atau sejarawan sepakat bahwa Islam di wilayah nusantara, berkembang sejak awalnya dengan corak atau style tasauf (Azyumardi Azra, 1996; Hamka, 1983; Hasan Muarrif Ambary, 1995; Dennys Lombard, 1999), maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas memuat pembahasan-pembahasan mengenai tasauf, baik yang ditulis oleh para penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah, dengan segala devian tareqatnya.

Seperti yang terjadi di wilayah lain di dunia Melayu-Indonesia, tradisi pernaskahan dikalangan masyarakat Minangkabau mengandung sebuah ”kearifan lokal” (local-wisdom) yang sedemikian kaya dan telah menarik perhatian banyak orang untuk melihat serta mengetahui nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terkandung didalamnya (Oman Fathurrahman, 2000: 34). Kearifan lokal dalam hal ini tentu saja mencakup hal yang sangat luas, yang terkandung dalam naskah-naskah yang ditulis seperti tradisi keber-agama-an, keragaman pemahaman dan berbagai pilihan solusi dalam upaya pemecahan masalah-masalah kultural dan lain-lain, baik yang bersifat teks maupun konteksnya. Di daerah Minangkabau, baik dalam konteks kultural maupun geografis, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran ajaran Islam. Karena Islam sejak awalnya berkembang dengan corak atau pendekatan tasauf, maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas mengandung pembahasan tentang tasauf, baik yang diamalkan oleh penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah. Uniknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Zurniati (2005: 9-11), di Minangkabau perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat ini terjadi secara sistematis melalui surau-surau.

Jadi tidaklah mengherankan apabila pembahasan mengenai sejarah Islam di Minangkabau, surau menempati posisi yang signifikan, termasuk didalamnya ketika membahas tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah Islam. Dalam bahasa Oman Fathurrahman (2000: 36), surau-surau di Minangkabau dapat dianggap sebagai ”skriptorium” naskah, tempat dimana aktifitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung. Hal ini justru menguntungkan dalam proses penyelidikan, karena pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Minangkabau ini membuat keberadaan naskah-naskah tersebut mudah ditelusuri, karena mayoritas surau-surau tersebut hingga saat sekarang masih banyak dijumpai. Kendatipun kondisi dan fungsinya tidak seperti pada awal perkembangannya sebagai centre of excellence keilmuan Islam.

Berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan di Minangkabau ini tampaknya masih berlangsung hingga saat sekarang, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Sejumlah naskah-naskah Syattariyah periode akhir abad ke-20 Masehi yang dijumpai, merupakan salah satu betapa tradisi tersebut masih terus berlangsung seiring dengan masih mengakar dan terus berkembangnya Islam tareqat, khususnya tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau ini.

Mempertimbangkan persebaran-persebaran tareqat-tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiah di Minangkabau yang demikian intensif, serta memperhatikan fungsi naskah-naskah keagamaan sebagai media untuk mentransmisikan berbagai ajaran tareqat tersebut, dan juga berdasarkan kepada beberapa beberapa asumsi dasar dari para peneliti-peneliti terdahulu yang cukup intens mengkaji permasalahan naskah-naskah Islam Minangkabau, maka bisa diasumsikan bahwa naskah-naskah keagamaan (Islam) di Minangkabau ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melakukan proses inventarisasi dan identifikasi naskah-naskah ini, bahkan bila memungkinkan, dilanjutkan dengan proses penelaahan akademik terhadap makna kontent teks dalam upaya pengayaan epistimologi keilmuan pernaskahan.

Dalam konteks Sumatera Barat, perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat-tasauf ini secara sistematis melalui surau-surau. Tidaklah mengherankan kemudian, jika sejauh menyangkut telaah atas berbagai hal yang berkaitan dengan Islam periode awal di Sumatera Barat, peran surau sangatlah signifikan (Azyumardi Azra, 1988 dan 2003), termasuk ketika masuk dalam pembahasan tentang tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaannya. Pada dasarnya, pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Sumatera Barat ini pada gilirannya sangat mempermudah upaya penelusuran keberadaan naskah-naskah tersebut, karena surau-surau itu sendiri hingga sekarang masih banyak dijumpai. Akan tetapi dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah keagamaan tersebut, apalagi membaca dan memahami secara akademik-epistimologis dan memanfaatkannya, seringkali menemui hambatan, baik naskah-naskahnya yang dikeramatkan hingga tidak boleh diakses oleh sembarang orang maupun karena naskah-naskah tersebut telah rusak dimakan oleh usia. Tentu saja, upaya identifikasi dan inventarisasi atas naskah-naskah tersebut telah pernah dilakukan, terutama naskah-naskah Islam Minangkabau yang berada di luar negeri, lebih khususnya lagi di Belanda. Sejumlah katalog yang pernah ditulis, kendati tidak semuanya dikhususkan pada naskah-naskah keagamaan Islam saja, melainkan juga naskah-naskah lainnya seperti sastra dan lain-lain. Naskah-naskah yang pernah diteliti seperti yang dilakukan oleh van Ronkel (1921) yang mencatat tidak kurang daripada 257 naskah dengan judul tersimpan di Perpustakaan Universiti Leiden (Chambert-Loir & Oman Fathurrahman, 1999: 173-176). Disamping itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Teuku Iskandar (1999) yang juga mencantumkan kembali naskah-naskah Minangkabau yang pernah dicatat oleh van Ronkel diatas dengan beberapa tambahan koleksi baru.

Sementara itu, naskah-naskah yang ada di Minangkabau yang pernah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ali Hj. Wan Mamat (1995) yang melakukan pendokumentasian naskah-naskah Melayu di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang juga menyebut beberapa naskah Melayu di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Sedangkan Wibisono dkk. (1989) menyelidiki tentang naskah-naskah keagamaan Islam Minangkabau di beberapa masjid dalam perspektif arkeologis. Disamping itu, beberapa orang peneliti daripada Fakulasi Adab IAIN Imam Bonjol Padang (Rusdi Ramli dkk., 1997) dan dari Universitas Andalas Padang (Muhammad Yusuf dkk., 2001) memberikan informasi tambahan keberadaan naskah-naskah keagamaan secara ”grand tour”, walaupun tidak semua naskah boleh teridentifikasi. Menurut Ramli dkk. serta Yusuf dkk., ada beberapa daerah di Minangkabau yang merupakan ”enclave” naskah-naskah Islam Minangkabau diantaranya Kampung Lubuk Gunung Gadut 50 Kota, Taram 50 Kota, Batipuh Padang Panjang, Bingkudu IV Angkat Canduang, Tiaka Payakumbuh, Kuranji Padang, Pariangan Batusangkar, Pauh IX Padang, dan Kurai XIII Bukittinggi. Umumnya naskah-naskah tersebut berada ditangan personal. Sedangkan surau-surau yang masih menyimpan naskah-naskah Islam Minangkabau tersebut diantaranya surau Bintungan Tinggi nan Sabaris Pariaman, surau Tigo Jorong nagari Kudu Gantiang Barat kec. V Koto Kampuang Dalam Pariaman, surau Tandikek Pariaman, surau Padang Japang kenagarian VII Koto Tagalo kec. Guguak 50 Kota, surau Balingka kec. IV Koto Agam serta surau Batang Kabuang dan Surau Paseban di Koto Tangah Padang.

Diasumsikan masih banyak lagi naskah-naskah yang bertebaran di berbagai daerah baik yang bersifat person maupun institusi-surau. Apalagi bila diperhatikan bahwa persebaran naskah-naskah tersebut baru fokus pada beberapa daerah saja seperti sekitar daerah Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Padang Pariaman, Kota Padang, Batusangkar dan Tanah Datar. Sementara itu, daerah-daerah lain masih belum teridentifikasi naskah-naskah Islam Minangkabau ini.

Minggu, 16 Agustus 2009

Dirgahayu Indonesia-Ku : Optimisme dan Jembatan Emas

Oleh : Muhammad Ilham

17 Agustus 2009, 64 tahun Indonesia merdeka. Dalam rentang historis yang seharusnya membuat Indonesia harus matang, optimisme kita harus tetap ada dan terus dijaga. Bagaimanapun juga, Indonesia sudah mengarah pada kemantapan. Nilai kejujuran dan keterbukaan sudah mulai terlihat., walaupun terkadang ditingkahi oleh "akrobatik politik tingkat semu". Semua kita harus merasakan bahwa keindonesiaan adalah unsur dalam kepribadian yang mendukung dia dalam memecahkan masalah-masalah bangsa. Rasa keindonesiaan juga harus dirasakan sebagai sesuatu yang positif dan dibanggakan. Sehingga setiap orang Indonesia terdorong untuk memberi yang terbaik bagi bangsanya. Disanalah .... konteks optimisme tersebut diletakkan. Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat kecil dan miskin. Rakyat kecil dan miskin ini, harus benar-benar merasakan bahwa negara tempat ia tinggal punya kebijakan yang mendukung kemajuannya. Kemiskinan seharusnya ditempatkan dalam kerangka tantangan berbangsa, bukan sebagai "sesuatu yang fungsional" - sebagaimana yang diyakini oleh mazhab fungsionalisme. Jika mereka tidak merasakan kebijakan pemerintah, yang tidak berpihak kepada mereka, tidak menempatkan kebijakan tersebut untuk mendekatkan mereka dengan ke-Indonesiaan-nya, mereka bisa punya masa depan yang tidak pasti dan kehilangan harapan untuk lebih sejahtera, ini justru berpotensi berbahaya. Motivasinya bisa menjadi kabur, dan bisa terbuka bagi ekstrimisme. Persoalan bangsa kini adalah ketegangan sosio-kultural, regionalisme, dan hubungan masyarakat-negara. Namun, mari tetap kita mulai dengan ras optimisme, mulai dari pencapaian yang telah dihasilkan selama ini kemudian perlihatkan sebuah idealisme dan tantangan yang akan dihadapi ke depan.

Idealisme bangsa, telah dirumuskan dengan sangat baik dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan empat hal. Pertama, keyakinan kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan juga karena rahmat Allah. Kedua, ada pandangan kesejarahan: maka, sampailah perjuangan ke pintu gerbang kemerdekaan. Ketiga, penjelasan tujuan Indonesia merdeka, yaitu menjaga tanah dan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjamin perdamaian dunia. Tahun 1920-an Bung Karno mengatakan dalam pidato ”Indonesia Menggugat”, kemerdekaan adalah jembatan emas. Maksudnya, ketika kita bebas menjalani kehidupan yang kita cita-citakan sesuai landasan ideologis kita sebagai bangsa. Waktu kita umumkan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, jembatan emas itu belum ada. Baru tekad yang kita miliki. Sekutu menyerang. Irian Barat kita kuasai. Dalam delapan tahun berikut, ada tonggak-tonggak jembatan yang jatuh. Demokrasi Terpimpin lewat Dekret Presiden 5 Juli 1959, Indonesia tidak lagi berkedaulatan rakyat. Tak ada pemilu. Bung Karno pegang semua, eksekutif, legislatif, kehakiman. Itu diperbaiki Orde Baru dengan memperjelas pembagian kekuasaan. Namun, ada tonggak yang kurang, yaitu menduduki Timor Timur. Padahal, kemerdekaan hak semua bangsa. Kemudian Reformasi 1998. Kita dapatkan kembali demokrasi. Kedaulatan rakyat kembali. Presiden Habibie berjasa dengan mengadakan Pemilu 1999 sebelum waktunya. Ia juga melakukan dua hal penting: kemerdekaan pers dan otonomi daerah. Jadi, praktis jembatan emas selesai setelah reformasi. Kemudian KH Abdurrahman Wahid menjadi orang pertama yang dipilih sebagai presiden sesuai UUD 1945 oleh MPR. Presiden SBY terpilih oleh pemilu langsung hasil amandemen UUD 1945. Ini terjadi ketika jembatan emas itu sudah dicat, dikasih lampu-lampu.

Menjaga tanah dan bangsa ini, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjamin perdamaian dunia. Tantangannya, apakah semua tujuan itu sudah tercapai? Soal mempertahankan tanah dan bangsa selalu kita lakukan. Dulu kita melawan musuh imperialis, sekarang banyak soal baru, seperti lingkungan, perubahan iklim, narkotika, penyakit seperti flu burung dan flu H1N1. Soal kesejahteraan, tak pernah habis. Itu bagian dinamika kehidupan masyarakat yang terus harus diupayakan tanpa henti. Masalah terberat, mencerdaskan kehidupan bangsa yang belum cerdas juga. Apakah saya cerdas sebagai bangsa ketika saya hidup mewah sementara tetangga mati kelaparan? Kesenjangan sosial itu memancing konflik. DIRGAHAYU INDONESIA ............. I LOVE YOU FULL !!

Senin, 03 Agustus 2009

Buat Emma Yohanna : Anggota DPD RI 2009-2014 Utusan Sumbar

Oleh : Muhammad Ilham
(Dosen-Peneliti IAIN Padang/Direktur Riset LPPBI IAIN Padang/Surveyor Cetro)

(Padang-Today.com dan Situs emmayohannacentre.com) Sejarawan Tsyoshi Kato dan Takashi Shiraishi, suatu waktu pernah mengatakan bahwa Minangkabau adalah "ranah dinamis" yang sudah sejak dahulu memberikan peluang bagi perempuan berkiprah di dunia "laki-laki" -- dunia politik. Bukalah lembaran sejarah, beberapa nama seperti Rasuna Said, Rahmah El-Yunusiyyah dan lain-lain, setidaknya mewakili sebuah zaman yang "ramah" terhadap perempuan di Minangkabau pada masa mereka. Institusi Amai Setia dan jumlah perempuan yang sekolah di Kweek School pada Era 20-an serta lahirnya Diniyyah Putri tahun 1921, kembali mempertegas, bahwa Minangkabau punya sejarah "keberpihakan terhadap perempuan". Dalam tataran ini, Emma Yohanna ........ setidaknya memiliki "track historis" untuk berkiprah ........ dan saya yakin, ia mampu.

Suatu ketika, anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina Sondakh "yang cantik itu", mengatakan bila kaum perempuan memilih jalan politik, maka harus mampu memainkan peran yang strategis. Dengan begitu, posisinya dapat diperhitungkan lawan-lawannya. Formulanya sangat sederhana : Jika ingin terjun ke politik, harus kuat. Anggota Komisi X itu mengatakan di dunia politik tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Itu sebabnya sikap kaum perempuan tidak boleh kalah tegas. Sebab, kata dia, bila mereka tidak menunjukkan ketegasan, posisinya dapat dimanfaatkan orang lain. “Jangan jadi tidak tegas, karena nanti gampang dikibuli,”. Menurut artis itu, terjun ke dunia politik tidak boleh setengah-setengah. “Karena akan dikerjain abis-abisan lawan-lawannya,” kata Angelina "istri Adjie Massaid" yang bermarga Sondakh ini.

Bagaimana karir wanita dalam politik ? Memperbincangkan karir wanita sebagai pemimpin dalam kiprah politik, terlebih lagi di bumi Indonesia, memang masih pendek umurnya. Kita hanya mengenal tokoh macam Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu pada jaman penjajahan. SK Trimurti, Supeni, Maria Ulfah Subadio pada era kemerdekaan. Megawati, Aisyah Amini, Khofifah Indrawati, pada era Orde Baru sampai sekarang. Sementara itu masih banyak lagi tokoh wanita yang terjun atau melibatkan dirinya dalam dunia swasta dan bahkan lembaga swadaya masyarakat. Di dunia Barat yang kehidupan demokrasinya lebih panjang ketimbang di Indonesia, kiprah karir wanita sebagai seorang pemimpin yang kapabel dalam dunia politik juga belum terlalu lama. Di Amerika Serikat, 144 tahun setelah merdeka, hak pilih wanita baru diakui dalam Amandemen Kesembilan Belas. Sementara di Inggris hak wanita baru dipenuhi tahun 1928. Tahun 1917, Jeanette Rankin merupakan wanita pertama yang menjadi Anggota Konggres di Amerika.

Presiden Ronald Reagen tahun 1981 mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung berjenis kelamin wanita. Pada masa itu Ronald Reagen juga menunjuk Jeanne Kirkpatrick, wanita pertama sebagai staf penasihat kebijakan luar negeri. Sementara Presiden Bill Clinton juga menunjuk beberapa wanita untuk menduduki jabatan penting. Janet Reno merupakan wanita pertama sebagai Jaksa Agung. Sedangkan Madeleine Albright adalah wanita pertama yang memangku jabatan Menteri Luar Negeri. Sementara data tahun 1988 menunjukkan, diseluruh dunia hanya ada 14,8% kursi parlemen yang diwakili oleh wanita. Sedang data tahun 1995 kursi parlemen yang diduduki wanita melorot menjadi 11,3%. Negara Swedia merupakan negara dengan komposisi parlemen berjenis kelamin wanita sebesar 40,4 % atau tertinggi di dunia.. Di Indonesia sendiri, wanita yang menduduki kursi DPR selalu tidak lebih dari 2% dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya. Hal ini menandakan bahwa hanya sedikit sekali wanita Indonesia yang mempunyai pengembangan karir di bidang politik. Walaupun secara prosentase jumlah wanita jauh dibanding dengan jumlah laki-laki di kursi parlemen, tidak berarti wanita lantas kehilangan hak untuk menjadi pemimpin. Cory Aquino, Benazir Butto, Margareth Teacher, merupakan wanita-wanita hebat yang menjadi pemimpin pemerintahan di negaranya walaupun parlemen negara mereka mayoritas dikuasai kaum laki-laki.

............... Mario Teguh, dalam setiap Ending "Mario Teguh : Golden Ways" selalu berkata : "realitas seperti ini, kemampuan seperti itu ..... lakukan, selanjutnya perhatikan hasilnya". Realitas historis, kapabilitas dan kualitas Emma sangat mumpuni, kita yakin, ia akan mampu". Selamat (berjuang dan "berjibaku").

Sabtu, 01 Agustus 2009

Bom Bunuh Diri dalam Pemahaman Fakta Sosial

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia tidak akan terkena pada hukum kehancuran. Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Oleh karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri. Lewat sebuah indoktrinasi, kata Emille Durkheim, mereka diyakinkan bahwa taman Firdaus terhampar setelah mereka mengorbankan diri mereka demi orang lain. Atau dalam bahasa lain, sorga terhampar luas dibalik detonator sehingga kematian akan terasa tidak lebih dari sekedar cubitan.

Beragam komentar dan pendapat dilontarkan oleh berbagai kalangan untuk menelaah fenomena (sosiologis) ini. Dari beragam pendapat tersebut, tidak didapatkan satu kesimpulan tunggal mengenai penyebab terjadinya fenomena bom bunuh diri ini. Beberapa pertanyaan yang mengedepan antara lain : Mengapa "mereka" mau mengorbankan diri mereka? Nilai-nilai apa yang mereka perjuangkan? Mengapa melibatkan banyak pemuda? Mengapa melibatkan mayoritas orang-orang yang anti-sosial? Mengapa melibatkan Islam garis keras ? Mengapa fenomena ini kemudian merembet ke kawasan yang tidak memiliki akar kultural seperti di Indonesia? Dalam konteks ini, jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) ini menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang ada delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu :

Pertama, Hopeless atau Kehilangan Harapan. Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia.

Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror (konsep ini bertendensi negatif) yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs. dan Nordin M. Thop cs. Kedua, demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya.

Ketiga, Faktor Kepahlawan. Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia : "kematianku bukanlah sebuah kekakalahan dan ketakutanku. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang".

Keempat adalah Faktor Kebanggaan Individual-Komunal. Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Eskapisme merupakan faktor yang kelima. Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam konteks ini, mungkin tidak begitu banyak pelaku bom bunuh diri melakukan tindakan bom bunuh diri karena faktor ini. Tapi kasus DR. Azhari yang kemana-mana selalu membawa bom dalam rompinya bisa dipahami. Sebelumnya, DR. Azahari telah dianggap sebagai Target Operasi Terdepan Pemerintah Indonesia (Bukan lagi Polisi, tapi sudah Pemerintah dan Negara Indonesia). Mungkin menyadari hal ini, daripada ditangkap hidup-hidup -- dan hal ini hampir dilakukan oleh Polisi Indonesia, tapi karena pertimbangan bahwa DR. Azahari diasumsikan membawa bom dalam rompinya sedangkan pada waktu penggerebekan pertama DR. Azahari berada ditengah-tengah masyarakat dan dikhawatirkan banyak korban yang akan tewas apabila DR. Azahari meledakkan dirinya -- DR. Azahari lebih merasa "aman" memakai rompi yang terdapat di dalamnya bom.

Keenam adalah psychotic atau kegilaan, dimana ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan seperti fenomena David Koresh di Amerika Serikat dan beberapa peristiwa tragis lainnya yang berakhir dengan ritual bunuh diri para pengikutnya. Dalam kasus Islam di Asia Tenggara, peristiwa dalam skala yang lebih rendah bisa terlihat dari kasus Madi di Sulawesi, Lia Eden di pulau Jawa dan beberapa kelompok (sempalan) lainnya baru-baru ini. Fanatisme juga menjadi faktor paling signifikan. Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meunrut para penganutnya untuk mengorbankan diri. Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Sayangnya, demikian kata Maarif, pelaku bom bunuh diri tersebut mayoritas adalah mereka yang memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang tidak begitu mapan, sehingga mereka mudah direcoki dengan pemahaman-pemahaman yang salah dan pada akhirnya menimbulkan rasa fanatisme yang tinggi dan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut merupakan sesuatu yang benar dan sesuatu yang harus dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.

Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi (ini bisa dipahami ketika kita melihat kasus Devi Saravati diatas). Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.

Fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri, terutama pemahaman-humanis tentang beberapa konsep yang selama ini “menggairahkan” seperti “Jihad”. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?

Ahmad Syafi’ie Ma’arief berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.