Senin, 20 April 2009

Sebuah Catatan Atas Luka Akan Selalu Ada

Oleh : Muhammad Ilham

“Walau sejarah belum tentu (dan tak perlu) menghadirkan para penulis sebuah buku agar menjadi tokoh di dalam perjalanan waktu, sebuah catatan atas luka akan selalu ada…”, setidaknya demikian kata sang Revisionis (dalam tradisi Marxian), Antonio Gramsci. Saya mulai tulisan (tepatnya penggalan “reportase-highlight” dari seorang putra DN. Aidit, Ilham Aidit – tidak pakai Muhammad, sebagaimana halnya dengan nama saya, Muhammad Ilham). Penggalan tulisan ini merupakan “jerit” dari seorang anak menyaksikan kehancuran fantasi terbesarnya yang bernama “keluarga”, sebagaimana halnya jerit pilu Amelia Yani melihat ayahnya Ahmad Yani ditembak. Ideologi telah meluluhlantakkan kebahagiaan yang difantasikan Ilham Aidit. Saya dan kita, mungkin tidak sependapat dengan pilihan ideologi ayah Ilham Aidit (baca: komunis), namun setidaknya, tulisan dibawah ini kembali “menjemput” masa lalu yang tidak ingin kita ulang kembali. Berikut penggalan “reportase-highlight”

Di kejadian 42 tahun yang lalu, 30 September 1966 hampir tengah malam. Di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Jakarta, hanya beberapa meter dari Monumen Proklamasi. Seorang bocah Ilham, kelopak matanya banjir melihat ayah yang dibanggakannya dibawa pergi oleh tiga tentara. Pergi dan tak pernah kembali. Ketika besar, dia mendapati kenyataan bahwa ayahnya, D.N. Aidit tewas ditembak Kolonel yasir di sebuah sumur tua di Boyolali, setelah sebelumnya melalui jalan pengkhianatan karib yang menyesakkan hati pemuda yang pidatonya menggetarkan hingga ke Kremlin itu. Tak jauh beda dengan nasib para jenderal pahlawan revolusi yang terbunuh dalam peristiwa di malam yang sama. Ibundanya, dr. Soetanti kemudian menyusul ayahnya untuk pergi dalam waktu yang teramat lama, dari penjara ke penjara. Baru 16 tahun setelahnya, di tahun 1980, sang bunda bebas dari Penjara Pulau Buru. Sejak malam itu, Ilham kecil tak pernah lagi memiliki rumah tempat ayahnya pulang, tempat mereka berkumpul dan mendengar riuh diskusi politik yang sama renyahnya dengan lagu keroncong yang mereka gemari. Rumah besar yang ditempatinya beserta empat saudara dan dua pamannya itu, di hari-hari berikutnya kemudian berwarna suram, gelap. Sebagian karena bekas api, tumpahan bensin, namun lebih banyak bekas kekalutan dan kebingungan. Dari sebuah tempat berkumpul para pejuang buruh, pemikir nasionalis dan para politikus setia, kemudian berubah menjadi rumah hantu yang ditakuti. Selepas peristiwa G 30 S itu, rumah mereka diamuk massa. Semua penghuninya kemudian menyebar bagai diaspora kemanapun rasa aman bisa ditemukan.

Ilham yang masih bocah dan tak cukup paham polemik politik tingkat tinggi itu, berpindah dari satu rumah kekhawatiran ke rumah kecurigaan yang lain, hanya menggantungkan harap dan iba kepada kerabat yang bermurah hati menampungnya. Sesekali aparat mencoba menghantui dengan wajah dendam dan revolver. Nasib Ilham kecil, tak jauh beda dengan tujuh anggota keluarga yang menempati rumah di Jalan Pegangsaan itu. Saudara-saudara lainnya juga bernasib sama, kakak sulungnya Ibarurri dan Ilya Aidit menjadi eksil di luar negeri, berpindah-pindah. Paman dan ibunya menjadi tahanan negara tanpa pernah diberi peluang membuktikan kesalahannya, selain bahwa dalam darah mereka mengalir darah leluhur Aidit. Nasib anak-anak Aidit teramat tragis, menjalani hari demi hari dalam ketakutan dan teror, di balik sejarah hitam ayahnya, yang sampai saat ini masih mengundang kontroversi di balik debat para analis sejarah.

Kini, Ilham Aidit sudah punya rumah sendiri di Depok. Bangunan suram dan kelam masa lalunya mungkin akan tetap jadi monumen kenangan pahit dan disimpan rapi dalam museum masa lalunya. Beberapa tahun silam, Ilham menyempatkan diri mengunjungi “petilasan” ayahnya, sebuah sumur tua di samping sekolahan nun jauh di sebuah dusun di Boyolali. Tidak ada gundukan tanah, pusara, apalagi taburan kembang nan harum di atasnya. Hanya gundukan sampah dan hempasan ketidakpedulian, yang mungkin masih lebih baik daripada ketika di masa Orde Baru. Sumur tua tempat jasad ayahandanya dicampakkan itu pernah menjadi monumen lupa dan tidak peduli penduduk di sekitarnya. Juga para tentara yang menjadi saksi kelam kejadian di malam 22 November 1966 itu. Ilham Aidit sadar, tidak ada gunanya mengalirkan rasa kecewa dan ketakutan itu sepanjang hidupnya. Dia berharap, tidak ada lagi rumah kelam bagi anak-anak yang lain, dan untuk itu dia perlu turun tangan membangun rumah yang lebih indah, terutama bagi yang membutuhkan. Beserta kawan-kawan arsiteknya, dia terlibat dalam proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami, membangun rumah-rumah untuk anak-anak korban tsunami. Berhasrat dia menyediakan rumah yang teduh bagi tumbuh kembang anak-anak itu, bukan rumah gelap nan suram dan selalu berganti, sebagaimana yang dia hadapi dulu..................... Historia Vitae Magistra

Insert : Brand Film Penumpasan G 30 S-PKI dan Dipa Nusantara Aidit@Danu Nusantara Aidit@Dja'far Nawawi Aidit@DN. Aidit dan entah apalagi

Surat (Cinta Bernuansa Politik) Soekarno kepada Ratna Sari Dewi

Re-Write : Muhammad Ilham

Terlepas dari beberapa perdebatan tentang otentisitas Surat Soekarno kepada "istri mudanya" pada masa-masa "galau politik", yang pasti Surat ini bisa menjadi bahan komparasi untuk memahami "galau-psikologinya" Soekarno pada masa-masa Pasca G 30 S. Soekarno prihatin sekali dengan situasi pasca G 30 S, ketika terjadi saling bunuh diantara sesama bangsa Indonesia. Soekarno memandang, pembantaian terhadap orang-orang komunis yang dilakukan di seluruh negeri, merupakan sesuatu yang "merusak hasil kerjanya selama duapuluh tahun". Kita memang harus melihat sikap Soekarno sebagai sikap seorang negarawan, founding father, yang berobsesi membangun Indonesia yang plural -- bahkan pluralitas ideologi yang digambarkannya dalam konsep (yang kini jadi utopis), yakni NASAKOM. Keprihatinan Soekarno terhadap aksi pembantaian orang-orang komunis, tampaknya dilandaskan pada aspek persatuan bangsa. Bulan November 1965, Presiden Soekarno membentuk Factfinding Comission (Komisi Pencari Fakta) untuk menertibkan, membersihkan dan menyelesaikan oknum-oknum sipil yang tersangkut G 30 S. Panitia Presidium, juga disebut sebagai Panitia III Menteri, ini beranggotakan Oei Tjoe Tat dari Partindo, Brigjen. Pol. Moedjoko (secara politis dekat dengan Waperdam III Chairul Saleh) dan H. Aminnudin Aziz (seorang tokoh Nadhlatul Ulama). Namun akhirnya Panitia itu gagal total. Sementara situasi politik semakin panas.


Demonstrasi terus terjadi. Universitas Res Publica (sekarang menjadi Universitas Trisakti) didemonstrasi, ditembaki dan dibakar massa Soekarno tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perlahan tapi pasti, dia dilolosi oleh kekuatan baru, yakni aliansi antara AD, mahasiswa, serta masyarakat yang tidak sepaham dengan PKI maupun aliran kiri pada umumnya. Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, bertutur bahwa beberapa hari sebelum 30 September 1965, Presiden Soekarno memanggil Jenderal Yani. Bung Karno bertanya, "Saya mendapat informasi tentang Dewan Jenderal yang mau bikin kudeta pada 05 Oktober. Apakah kau tahu?" Jenderal Yani menjawab: "Saya tahu. Mereka sudah ada di tangan saya. Bapak enggak usah khawatir." Bung Karno percaya Yani. Tetapi nyatanya, Jenderal Yani menjadi salah satu korban penculikan G 30 S. Ketangkasan Mayjen Soeharto meredam aksi G 30 S memancing kecurigaan Dewi. Katanya, "Sepertinya, Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan. Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu Cepat. Kalau belum tahu rencana G 30 S, ia tak mungkin bisa melakukannya."

Bagaimana dengan Soekarno ?, apakah dia mengetahui gerakan tersebut ? Menurut Ratna Sari Dewi, "Bapak tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. ... Tanggal 01 Oktober, Bapak masih ada di Jakarta dan saya bisa mengunjungi dia di Halim. Jadi hari itu, Bapak tidak kirim surat. Ini surat tanggal 2 yang dikirim dari Istana Bogor. Isinya, dia baik-baik saja, sedang sibuk menghadiri petemuan dengan para petinggi militer guna menyelesaikan konflik militer. Bapak membantah keterlibatan PKI dan hanya menyebut konflik dua kelompok militer." Memang, tanggal 02 Oktober itu Bung Karno mengirimkan surat kepada istri yang konon paling dicintainya itu. Begitulah kebiasaan Bung Karno bila dia tidak sempat berkunjung ke Wisma Yaso, tempat kediaman Ratna Sari Dewi. Aktifitas Bung Karno dalam hari-hari pertama setelah G 30 S meletus, memang tidak banyak. Mobilitasnya sangat terbatas. Pada tanggal 1 pagi di Halim, sorenya ke Istana Bogor, dan tinggal disana untuk beberapa hari sambil memantau situasi. Esoknya, tanggal 3 Oktober, Dewi kembali mendapat surat dari suaminya. Isinya secara detail :

"Dewi sayangku, saya senang menerima dua pucuk suratmu. Saya senang kamu mendengar perkataanku dan terima kasih kamu menaruh perhatian. Pranoto agak lemah, tapi hanya dia di Mabes Angkatan Darat yang bisa berhubungan dengan pihak kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care-taker Panglima AD untuk menangani urusan sehari-hari AD. Komando AD tetap ada di tangan saya. Segera sesuatunya tentang kembali, saya akan menunjuk Komandan AD definitif. Saya tidak tahu dimana Yani atau apa yang sesungguhnya terjadi dengannya. Segera sesuatunya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Saya tetap memikirkanmu. Kamu tahu betapa cintaku kepadamu.” 1000 cium, Soekarno

Dari surat tertanggal 03 Oktober 1965 yang dikirim dari Istana Bogor, diketahui banyak hal penting. Pertama, Soekarno menghendaki AD dipegang orang yang netral, tidak condong ke kanan atau kiri. Keinginan seperti ini sangat logis, apalagi mengingat jiwa nasionalisme Soekarno yang amat orientasi pada persatuan. Kedua, Soekarno belum mengetahui nasib Yani dan jenderal-jenderal lain yang diculik Gerombolan 30 September. Apa yang tertulis dalam surat Soekarno ini, barangkali agak kontradiktif dengan dugaan Ulf Sundhaussen bahwa pada tanggal 03 Oktober, Soekarno sudah mengutus salah seorang perwira Cakrabirawa untuk mengambil jenasah para jenderal. Sebuah surat tertanggal 05 Oktober dikirimkan lagi kepada Dewi. Isinya antara lain :

“Sayangku, Dewi. Hari ini pemakamaan enam jenderal dan satu ajudan jenderal…… ... Soebandrio dan Leimena tidak mengikutiku menghadiri upacara pemakaman karena alasan keamanan. Mereka mengatakan tak ada seorang pun yang yakin apa yang terjadi pada suasana upacara yang emosional begitu. Sayangku, perasaanmu benar: ...... adalah seorang mata-mata. Namanya tertulis didalam daftar orang-orang yang kita curigai. Saya memanggil enam jenderal yang lain untuk berbicara dengan mereka setelah upacara pemakaman itu: Moersid, Sutardio, Ashari, Dirgo dan Adjie dari Bandung. Mereka adalah jenderal-jenderal yang berpengaruh di Angkatan Darat. Untuk jenderal-jenderal yang terbunuh, kita tunggu hasil investigasi rahasia kita: apakah mereka benar-benar akan melakukan kudeta terhadap saya atau tidak ? Informasi bertentangan satu sama lain. Benar, mereka semua 'communistophobie'. Tentang Mr. P., saya akan menceritakan kepadamu nanti. Saya tidak dibawah pengaruh seorang pun. Jangan khawatir tentang itu. Begitu kondisi mereda, saya akan pindah ke Jakarta. Saya sangat rindu kamu, istriku. Oh, cintaku, aku cinta kamu. "
Oh, 1000 cium, Soekarno

(dari berbagai sumber)

Selasa, 14 April 2009

Roem : "Saya tak punya waktu membenci Soekarno"

Oleh : Muhammad Ilham

Ketika melihat sebagian (bukan seluruhnya) dari elit politik Indonesia belakangan ini, “bermanuver”, rasanya saya rindu dengan tokoh-tokoh panutan Indonesia ketika awal Indonesia sebagai negara bangsa terbentuk, seperti (misalnya) Muhammad Roem. Disaat para sebagian elit, ketika kepentingan mereka tercederai, mereka “kasak-kusuk” mendelegitimasi sebuah keputusan politik, tanpa berusaha mencari solusi-solutif yang lebih “gentle”. Awalnya mereka diam, namun setelah “kalah”, mereka justru merasa dikalahkan. Dalam konteks ini, saya merindukan tokoh Masyumi yang lahir di Parakan Jawa Tengah 16 Mei 1908 ini. Muhammad Roem (dan sahabat-sahabatnya yang lain), bukan hanya seorang tokoh sejarah, tapi lebih dari itu – ia adalah seorang yang berbudi, demikian kata George Mc Turnan Kahin. Ketika ia wafat di Jakarta, September 1983 dalam umur 75 tahun, ratusan orang melayat. Kematiannya, kata Goenawan Moehammad, meninggalkan sebuah saksi perjalanan sejarah demikian panjang dan penuh.

Orang, sejarah dan buku sejarah hanya mengenal Roem sebagai diplomat. Perunding Indonesia vis a vis Belanda, terutama dalam persetujuan yang terkenal “Roem-van Royen”, Mei 1949. Namun, bagi orang yang tahu tentang sejarah, Roem lebih dari itu. Diplomat yang berjuang untuk pengakuan kedaulatan Indonesia ini, juga dikenal sebagai “pembawa dan perekat suara damai” bagi banyak pihak. Kahin menyebut Roem sebagai orang yang sanggup jadi “jembatan pengertian” antara kalangan yang berbeda-beda. Memang tak selamanya ia berhasil. Ketika Pemberontakan PRRI tahun 1958 terjadi di Sumatera, ia gagal mendamaikan “sahabat-sahabatnya” dengan pemerintah pusat. Padang di bom, perang pun pecah. Konsekuensi politis dari Pemberontakan ini, tahun 1960, Masyumi dibubarkan. Roem merupakan salah satu bagian penting dari Masyumi kala itu. Roem bersama-sama dengan tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) lainnya ditahan, sampai empat tahun lebih.

Tahun 1966, pasca keruntuhan rezim Soekarno, Roem dan kawan-kawannya dibebaskan. Bagi Roem, pengalaman ditahan tanpa bersalah itu tak menyebabkannya jadi orang yang pahit, apalagi sakit hati. Mochtar Lubis, sastrawan yang juga rekan satu tahanannya kala itu mengenang kebesaran Roem. Roem, kata sastrawan pengarang “harimau-Harimau” ini, tak pernah kehilangan proporsionalnya, walaupun dalam tahanan Soekarno. Dalam tahanan Soekarno-pun, kata Lubis, Mas Roem masih dapat membenarkan tindakan Soekarno di mana Soekarno memang benar. Kepada seorang wartawan Belanda yang mewawancarainya di tahanan, Roem tidak pernah memperlihatkan rasa bencinya kepada Soekarno. “Saya tidak punya waktu untuk membenci Soekarno”, kata Roem. Kemampuan membuat jarak dari pertentangan posisi dan pendapat itulah yang membuat Roem dihormati siapa saja. Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo menyebutnya sebagai “kawan saya”. Tokoh militer-Kristen, Tahi Bonar (TB) Simatupang melukiskannya sebagai pejuang yang tidak “murah marah dan benci sekalipun sering banyak alasan untuk marah dan benci”. Ia dan kawan-kawannya yang lain, merupakan teladan bagi sejarah Indonesia. Kita punya teladan. Sudah sepantasnya kita tidak akan pernah (mau) meneladani sebagian tokoh-tokoh kita hari ini, karena memang mereka tidak pernah mau meneladani orang-orang seperti Roem. Saat-saat seperti sekarang ini, rasanya rindu kita memuncak padanya.

(Insert : Foto M.Roem dan Suasana Perundingan Roem-Royen)

Senin, 13 April 2009

Kemenangan Partai Demokrat : Faktor SBY dan Rasionalitas Publik

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih ingat, tanggal 9 April 2009 yang lalu, ketika proses pencontrengan untuk Pemilu Legislatif berlangsung. Kala itu saya jadi KPPS di sebuah daerah pinggir kota Padang, daerah yang secara sosiologis “semi-urban” dengan tingkat heterogenitas masyarakatnya cukup tinggi, maklum di kompleks perumahan menengah bawah. Ada beberapa kejadian (baca: fakta) yang bisa digeneralisir untuk menjawab peristiwa paling fenomenal dalam sejarah politik Indonesia (khususnya sejarah pemilihan umum), yaitu : “Mengapa Partai Demokrat Menang?”. Apa sesungguhnya yang melatari sukses besar Partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini?

Cerita 1 :

Kira-kira hari menunjukkan jam 7.10 WIB pagi. Masih pagi untuk ukuran Padang. Sebagai ketua KPPS, saya masih mempersiapkan logistik Pemilu dan selanjutnya mengambil “sumpah” anggota KPPS. Beberapa pemilih sudah menunggu sekitar 10-15 orang di luar area pemilihan. Saya cukup terkejut karena bila dibandingkan dengan Pilkada Kota Padang 4 bulan yang lalu, pada jam-jam seperti ini, tak ada satupun pemilih yang datang. Antusiasme sudah tampak. Secara psikologis kami khawatir karena timbul anggapan para pemilih yang sudah mengantri di luar area pemilihan adalah orang-orang yang mau cepat menunanaikan kewajiban “Civic” mereka. Setelah sumpah saya baca, anggota mengambil posisi masing-masing. Selanjutnya, saya persilahkan satu per satu pemilih (yang rata-rata ibu-ibu) untuk mengambil Kartu Suara dan seterusnya. “Silahkan bu, kartu suaranya di ambil. Kita sudah sediakan 4 bilik untuk mencontreng, saya jamin tidak akan ada antrian panjang”, kata saya. Namun yang terjadi adalah, hanya satu dua orang ibu-ibu tersebut ingin cepat mengambil kartu suara. Sedangkan yang lainnya, masih ingin duduk-duduk dan berdiskusi tentang Susilo Bambang Yudhoyono serta Partai Demokrat. Mereka bukan tim sukses. Tapi lamat-lamat saya dengar, mereka sedang “menyatukan visi” untuk memenangkan Partai Demokrat. Kekhawatiran akan panjangnya antrian, pudar. Hingga jam 11.00, tercatat hampir 188 orang yang telah memilih dari 241 DPT di kompleks saya. Ibu-ibu yang sejak pagi tadi “ngetem”, sudah pulang. Sebelum pulang, ada beberapa yang ketika keluar dari Bilik Suara bergumam, “awak mamiliah urang panyaba” – saya memilih orang penyabar. Secara teoritis, proses simplifikasi telah terjadi. Kaum ibu ini pasti mencoblos salah satu dari Calon Legislatif Partai Demokrat. Saya yakin mereka tidak kenal dengan calon-calon tersebut yang memang tidak pernah datang ke kompleks saya sebagaimana halnya calon-calon legislatif dari partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar dan Gerindra. Mereka telah melakukan sebuah proses, mencontreng Calon Legislatif dari Partai Demokrat berarti Calon tersebut adalah orang yang “penyabar” sebagaimana halnya sang big bos “SBY”. Demokrat berkorelasi dengan anggapan penyabar. Padahal, saya tahu ada calon legislatif dari Demokrat tersebut yang “sedikit bermasalah” dan “sedikit penipu” serta “sedikit tidak pantas”. Menjelang ditutup jam 12.00 siang (sesuai dengan ketentuan KPU), datang pemilih ke-189. Perempuan yang sudah dekat dengan status nenek. Saya kenal, ia penjual sayur. Saya jamin, ia tidak melek politik, apatah lagi meng-update berita terkini seputar pemilu. Bisa jadi ia buta huruf. Ketika diberi kartu suara, sambil masuk menuju bilik suara, kelihatan ia bingung. Cukup lama ia berada di dalam bilik, padahal waktu pencontrengan sudah boleh dikatakan tutup. Ketika ia keluar, sambil berteriak, “pak, ma gambar partai SBY pak. Paniang den mancarinyao. Banyak bana gambar disiko. Tolong ciek lah, tusuk partai SBY tu?” (Pak, mana gambar Partai SBY, pusing saya mencari gambarnya). Semua yang hadir terpana.

Cerita 2 :

Ada caleg dari sebuah Partai Politik mapan datang ke tetangga kompleks saya. Bak sinterklas, ia membagi-bagikan uang. Acara lomba mancing hingga orgen tunggal diback upnya. Saya yakin, ia merasa bahwa suara masyarakat tetangga kompleks saya itu pasti untuknya. Karena masyarakat menyambutnya dengan ramah. Karena uangnya banyak dinikmati masyarakat. Karena ia menyelenggarakan orgen tunggal. Karena gambarnya begitu banyak. Karena masyarakat disana banyak yang ingin jadi bagian dari tim suksesnya. Karena, karena dan karena. Tapi apa nyana, ketika jam 14.00 WIB tanggal 9 April 2009, ia hanya memperoleh 4 suara (skor 1 = 1, caleg = pemilih. Sama-sama gombal). Di sisi lain, calon dari Partai Demokrat yang jangankan uang atau fisik, wajah mereka dalam bentuk baliho-pun tidak pernah “mengunjungi” kompleks tetangga saya itu. Tapi, ketika jam 14.00 WIB tanggal 9 April 2009, sang calon dari Partai Demokrat yang tidak pernah datang ini memperoleh 33 suara.

Mengapa Partai Demokrat begitu fenomanal ? Beberapa alasan yang memicu munculnya keheranan dan pertanyaan publik karena secara real politik, Partai Demokrat adalah partai yang cukup baru dalam konfigurasi perpolitikan nasional. Bahkan tercatat, partai Demokrat baru mulai ikut pemilu ketika pemilu 2004 yang ketika itu juga sekaligus mengusung SBY sebagai calon Presiden. Dalam posisi partai “yang masih” seumur jagung, maka menjadi spektakuler ketika hanya dalam keikutsertaan yang ke-dua dalam sebuah pemilu kemudian PD mampu menjadi jawara dengan hasil di atas 20%. Kemudian, selain faktor SBY sesunggguhnya kekuatan PD sebagai mesin politik nyaris tidak ada. Soal ideologi misalnya, tawaran Nasionalis Religius yang menjadi plat form PD sesungguhnya membuat PD berada dalam posisi yang tidak jelas. Artinya PD berusaha keluar dari mainstream aliran (ideology) politik yang sudah mencukup mengakar dalam belantika perpolitikan nasional, yakni Nasionalis, Santri (religious), Abangan (Marhaenisme). Artinya, di hadapan pemilih yang masih menimbang dan meyakini aliran politik, sesungguhnya PD bukan pilihan terbaik. Selanjutnya, bila kita berkaca dari hasil pemilu 2004, secara kuantitas PD hanya memperoleh 7% suara dibawah Partai Golkar, PDIP, PKB bahkan PPP. Dan secara substansi artikulasi politik, para legislator PD juga bukan sosok politisi ulung dan terampil yang memiliki kemampuan lobby politik yang brilian. Terbukti banyak kebijakan pemerintah yang tidak mampu dikomunikasikan secara baik kepada oposisi bahkan dengan sesama partai koalisi yang ada di parlemen. Dalam posisi suara yang terbatas dan keterampilan komunikasi politik yang juga terbatas, maka nyaris mustahil memenangkan sebuah pemilu dengan angka telak.

Keheranan dan surprise publik atas prestasi PD pada pemilu 2009 ini begitu mudah dijawab, bahwa semuanya karena PD memiliki sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Inilah faktor yang maha menentukan di balik kesuksesan Partai Demokrat. Bahkan begitu kuatnya faktor figur SBY dalam mengantar kemenangan PD membuat para elit dan pengurus PD tidak memiliki argumentasi untuk menjelaskan faktor kemenangan PD selain faktor figur SBY. Meskipun ada faktor money politik yang konon dilakukan PD ketika kampanye misalnya, namun saya tidak masukkan faktor ini, karena nyaris semua parpol melakukan hal yang sama. Yang jelas faktor SBY ini terdefinisikan dalam beberapa hal :

Pertama, bahwa 20% pemilih yang menentukan pilihannya ke PD adalah memilih pesan bahwa, mereka tetap menghendaki SBY sebagai presiden mereka untuk periode yang akan datang. Pemilih 20% itu adalah sesungguhnya bukan voters PD yang sejati, loyalis yang mengerti betul tentang platform dan visi misi PD sebagai partai politik. Namun mereka adalah voters yang merasa nyaman dengan gaya dan hasil kepemimpinan SBY sebagai presiden RI bukan SBY sebagai Ketua Pembina Partai Demokrat. Artinya, PD hanya merupakan imbas dari kharisma figure SBY. Analogi Sarkatisnya adalah partai sekecil apapun (Misalnya Partai yang saat ini memperoleh 0…%), ketika Ketua partai tersebut adalah SBY, maka niscaya Parpol Kecil itu akan memenangkan Pemilu 2009 kali ini. Artinya ideology dan mesin politik PD seperti apapun kondisinya tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika dibandingkan dengan figur SBY.

Kedua, bahwa citra, figur dan kharisma dari seorang SBY beserta kebijakan-kebijakan SBY di pemerintahan adalah sesuatu yang berbeda dengan hasil-hasil kerja politik PD sebagai partai politik. Sebagai efek dari koalisi kabinet yang multi partai, maka kebijakan-kebijakan SBY adalah jelas bukan kebijakan PD. Sehingga turunnya harga BBM, program PNPM, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bukan kerja PD yang secara jelas dipahami publik adalah bukan manifestasi dari ideologi, visi, misi dan program kerja PD sebagai parpol yang bertanggung jawab terhadap konstituennya. Ketika seorang menerima BLT, maka yang tersimpulkan adalah uang 200 ribu ini dari SBY bukan dari PD. Inilah corak parpol yang gagal mengharmonisasi kekuatan figur parpol dalam mesin politik parpol untuk direfleksikan atau dikomunikasikan sebagai kerja politik untuk meraih dukungan bersama. Yang terjadi adalah simplisitas hasil kerja figur seolah menjadi hasil kerja parpol melalui media dan iklan secara bombastis dan cenderung manipulatip. Akhirnya pun publik tetap yakin bahwa semuanya itu adalah kerja figur SBY.

Ketiga, kemenangan figur ala SBY akhirnya semakin menjelaskan “rasionalitas” pemilih saat ini. Rasionalitas pemilih Indonesia adalah proses delegitimasi atas eksistensi sebuah parpol sebagai media artikulasi dan rekruitmen pemimpin politik. Kemenangan figur yang disistematisasi secara baik oleh PD mempertegas bahwa kekuatan figur lebih efektif daripada kekuatan mesin politik. Kondisi ini jauh hari sudah disadari dan diantisipasi oleh elit PD dengan mendorong keluarnya PerPu oleh SBY yang membolehkan pemilih mencontreng nama partai atau mencontereng nama caleg. Dengan situasi ini, maka pemilih yang lebih condong ke figur SBY tidak mau ambil pusing dengan identitas para caleg PD yang memang cenderung tidak mengakar dan cukup mencontreng gambar PD untuk SBY for Presiden. Meskipun tidak semua, namun sebagian besar konstruksi parpol saat ini masih dikendalikan figur. Sebutlah misalnya PDI-P yang masih memasang figur Megawati untuk menjaga soliditas partai. Juga fenomena ambruknya suara PKB pasca ditinggal oleh Gus Dur juga semakin mempertegas budaya politik figur ini. Proses kooptasi parpol oleh kekuatan figure mendapat legitimasi oleh putusan MK yang menghendaki kemenangan caleg melalui mekanisme suara terbanyak. Pada akhirnya parpol semakin tidak berdaulat.

Keempat, penjelasan lain atas kemenangan SBY adalah PD harus siap-siap menelan kekalahan pada pemilu 2014 apabila lima tahun ke depan hanya mengandalkan kekuatan kharisma SBY. Apabila mesin politik atau struktur PD masih belum tertata dan tidak terkonsolidasi dengan baik, maka kemenangan 2009 ini akan sekedar menjadi memori indah. Setidaknya ada 2 alasan kekalahan akan menghampiri PD tahun 2014, pertama, karena pemilih bahkan pengurus PD bukan voters ideologis dan loyalis (bandingkan dengan pemilih partai Golkar dan PDIP) maka sangat terbuka para pemilih PD akan berpindah ke partai lain. Kedua, kalau PD masih mengandalkan politik figur, maka tantangannya adalah PD mesti menyiapkan dan menghadirkan sosok yang memiliki daya pikat sekelas SBY dan sepertinya pasca SBY, PD belum bisa melahirkan sosok itu. Sehingga apabila PD masih akan menang di tahun 2014 maka pilihannya adalah konsolidasi dan soliditas partai. Akhirnya, kemenangan PD di 2009 ini semakin menambah referensi dinamika perpolitikan bangsa ini, bahwa akan banyak fenomena politik yang tak terduga yang semoga memberi inspirasi dalam menggapai wajah politik yang berwibawa dan beradab.

Rabu, 08 April 2009

Dari "Say No To Mega"

Oleh : Muhammad Ilham

Dunia Cyber telah menjadi instrumen kunci dalam sosialisasi politik. Sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah, dunia cyber merupakan dunia dimana setiap orang mampu untuk berimprovisasi tanpa ada sekat dan hambatan “editing” ataupun “breidel”. Dunia politik di Amerika dan Malaysia telah terbukti sukses dalam menjaring suara lewat komunitas blogger dan pengguna internet. Dengan berbagai fasilitas dan dinamika blog, komunitas blogger bakal menjadi mitra penting bagi praktisi politik. Barrack Obama ataupun Tony Pua Kiam Wee, politisi Malaysia adalah segelintir contoh politisi yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen dengan mengandalkan kampanye di media blog. Melalui dunia blog pula, misalnya, dunia politik di Malaysia terkesan lebih “hidup” dibandingkan dengan Indonesia. Hidup dalam artian “mobilitas pendapat masyarakat yang bebas” via dunia cyber. Bila dalam tatanan kebijakan politik real-nya, lain cerita. Indonesia jauh lebih rasional dan demokratis. Bila kita buka blog “malaysiatoday”, terlihat sumpah serapah publik Malaysia kepada para pemimpinnya (khususnya dari kalangan UMNO). Blog yang dipimpin oleh Raja Petra Kamaruzzaman (biasa disebut dengan panggilan popular RPK), blog ini telah membuat pusing elit politik Malaysia. Kehadiran blog ini, juga telah mampu mengangkat popularitas Partai Pembangkang (baca: oposisi) dibandingkan masa-masa sebelumnya ketika dunia cyber belum familiar dalam khazanah instrumen politik Malaysia.

Disamping blog, Face Book, yang juga menjadi salah satu instrumen dunia cyber tersebut, telah mampu memberikan alternatif lain untuk melakukan sosialisasi politik yang produktif, walaupun hanya untuk “kelas tertentu”. Namun, dalam perspektif Durkhemian, perkembangan penggunaan Face Book berkorelasi futuristik dengan perkembangan masyarakat. Artinya, untuk ke depan, penggunaan Face Book menjadi sesuatu yang lumrah bahkan cenderung menjadi pilihan yang lebih rasional-efisien. Face Book yang dikenal sebagai ajang perkenalan, menjelang pemilu legislatif yang tersisa 3 hari ternyata akhirnya menjadi ajang perseteruan politik juga. Kalau kita buka Face Book, ternyata ada aksi yang sangat mengejutkan, terdapat sebuah komunitas yang menamakan dirinya “Say ‘No!!!’ to Megawati.” Tadi malam penulis melihat yang tercatat sebagai suporter berkisar sekitar 51.000-an, tapi pada pagi ini tercatat jumlahnya sudah mencapai 60.514 orang dan terus naik, tercatat 1,886 More Members, 10 Board Topics, 501 Wall Posts.

Fenomena Face Book beberapa waktu terakhir ini telah membius dan membuat banyak orang menjadi demikian terpengaruh, bahkan sangat dikenal istilah “autis” bagi penggila face book, sibuk dengan PC ataupun Black Berry-nya masing-masing. Memang ada kesan kita mencontoh pilpres di Amerika, dimana Obama juga menjadi member dan memanfaatkan pertemanan di internet seperti Face Book ini sebagai salah satu ajang saat kampanye. Para politisi dan beberapa capres kita juga melakukan hal yang sama dengan membuka account di Face Book dan menawarkan pertemanan agar kenalannya menjadi pendukungnya. Tercatat Prabowo Subianto , Yuddy Chrisnandi, Akbar Tanjung, Marwah Daud juga mejadi anggota pertemanan di Face Book. Kembali kepada Say “No!!!” To Mega, pada profile Say No itu dipasangi foto Megawati yang dipasangi tanduk, yang merupakan rekayasa digital. Tidak jelas benar siapa yang membuat acount tersebut, tercatat demikian banyaknya nama-nama admin merupakan gabungan orang Indonesia baik didalam maupun diluar negeri. Sebagaimana sistem terbuka pada face book, para suporter jelas mencantumkan foto dan namanya masing-masing, walau beberapa menggunakan foto samaran. Komentar sangat beragam, tetapi pada umumnya menyatakan ketidak setujuannya Mega menjadi Capres.

Kader PDIP Effendy Simbolon menyatakan “Ini melanggar Undang-Undang ITE (Informasi Teknologi). Bisa masuk pada tindak pidana.” Menurut Effendy kelompok seperti ini bisa dikategorikan memfitnah dan membuat kampanye negatif untuk Megawati. PDIP tidak akan melarang apalagi melakukan kampanye hitam tandingan untuk menghalau gerakan ini. “Terserah mereka kalau memang mau menzalimi Mega. PDIP punya prinsip untuk tetap menggunakan cara kampanye yang sesuai aturan,” kata Effendy. Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahyono menyatakan, katagorinya bisa saja black campaign. Tapi dia bingung bagaimana menegur atau menindak komunitas jaringan internet ini. “Kita tidak tahu yang membuat siapa” katanya. Eka menyarankan Mega melaporkan ke Bawaslu, nanti akan dilaporkan ke Depkominfo yang bisa menindak lanjuti.

Melihat beberapa fakta tersebut, ternyata memang ajang internet selain bisa digunakan sebagai sarana kampanye, bisa juga dipergunakan sebagai sarana penyerangan. Pada Say No, yang jelas terserang adalah citra dari capres Megawati. Admin hanya melontarkan sebuah ide dan muatan, kemudian para penggila face book langsung bereaksi. Reaksi yang muncul beragam, mulai dari mengkritik, menyarankan, bahkan ada yang menghina. Tidak main-main para suporter dengan cepat bertambah, hanya beberapa jam saja jumlahnya bisa naik hingga diatas 10.000 orang. Pertanyaannya ada apa ini?. Bagi para elit PDIP, harus segera mensikapi fenomena yang terjadi, sulit untuk mengatasi kegiatan semacam ini didunia maya, merekapun mengatakan silahkan kalau mau menuntut, nanti penjara penuh.

Terlepas dari ulah para admin Say No, baik itu iseng ataupun memang pesanan, ada satu hal yang sangat penting diperhatikan dan dipelajari lebih jauh oleh PDIP, para suporter adalah pengguna internet yang dapat dikatagorikan kelompok yang cukup terpelajar. Dari komentar yang masuk, sementara ini terlihat munculnya sebuah “resistensi” terhadap Megawati dari kelompok terpelajar, tidak hanya dari kaum pria tetapi banyak juga dari kaum wanitanya. Nah ini yang menjadi “point” penting bagi PDIP untuk dipelajari. Apabila serangan dibiarkan, maka kelompok ini akan berubah menjadi sebuah bola salju yang akan sulit dikendalikan oleh PDIP, jelas akan banyak mempengaruhi anggota face book lainnya. Selesaikan masalah ini dengan arif, jangan balik menyerang mereka, karena komunitas netters bergerak secepat angin, tanpa batas ruang dan waktu. Kearifan merupakan salah satu yang diserang oleh warga negara Face Book, kalau boleh disebut demikian.

Insert : Foto diambil dari Face Book "Say No To Mega" (Gambar bukan merupakan pendapat pribadi penulis)

Kamis, 02 April 2009

Diskusi "fresh" dengan Prof. C.W. Watson

Fakultas Adab mendapat kunjungan Prof. C.W. Watson, Emeritus Professor of Social Anthropology and Multi-cultural Studies, Head of Department and Convenor of the BA in Social Anthropology pada Kent University, United Kingdom. Professor yang biasa dipanggil "Bill" ini, berkesempatan memberikan kuliah umum tentang :"Analisis Autobiografi untuk penulisan Sastra dan Sejarah". Dengan suguhan kuliah yang sangat menarik, energik bahkan terkesan Talk Show, paparan Prof. Bill sungguh mendapat sambutan luar biasa dari kalangan dosen dan mahasiswa. Kuliah umum dimulai pukul 10.00 WIB hingga azan Zuhur ini, dihadiri sekitar 150 orang mahasiswa dan dosen (bahkan banyak yang berdiri di luar aula). Di awal kuliah, Prof Bill lebih lanjut mengatakan most of my research relates to Indonesia and Malaysia. I have lived in both countries for several years and speak the language of the countries fluently. Among the subjects in which I have an especial interest are: multiculturalism, the practice and politics of Islam in South-East Asia, perceptions of gender, local village politics and textual criticism. I also have a long-standing interest in the relationship between anthropology and literature and have written extensively on Malay and Indonesian novels.

Dengan dipandu oleh Muhammad Ilham (dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam), paparan Professor yang menghabiskan waktu produktifnya untuk meneliti "komunitas Kerinci" (melahirkan sebuah buku : "Naskah Undang-Undang Tanah di Kerinci") bahkan beristrikan orang Kerinci ini, Professor Bill memberikan sesuatu yang "baru" dan "fresh" tentang pendekatan autobiografi dalam penelitian sejarah dan sastra. Dengan mengambil beberapa kasus autobiografi dalam penulisan sejarah dan sastra Islam Nusantara, Professor Bill ingin menekankan bahwa unsur subjektifitas dalam penulisan autobiografi justru menjadi sesuatu yang diharuskan sehingga autobiografi tersebut menjadi menarik. Pertanyaan yang justru timbul adalah bisakah autobiografi yang subjektif itu jadi data dalam penelitian ? Bill mengatakan, "justru dalam autobiografi tersebut akan terefleksi kejujuran seorang "Aku" dalam menulis riwayat hidupnya". Prof. Bill dalam khazanah keilmuan Indonesia, dikenal sebagai penulis sekaligus peneliti buku yang sering dijadikan rujukan dalam tradisi ilmu sosial (khususnya Sastra dan Antropologi) yaitu buku Being There : Fieldwork in Anthropolgy , Of Self and Injustice dan Of Self and Nation

Of Self and Nation: Autobiography and the Representation of Modern Indonesia. This valuable set of eight essays on twentieth century Indonesian literature and social thought has a precise aim: to chart out the cultural space where the autobiographical self and the Indonesian nationalist imagination have intersected and mutually shaped each other, rhetorically and politically, over the period framed by the publication of Raden Ajeng Kartini's colonial-era, Dutch language epistolary memoir From Darkness to Light (1912) and the Indonesian language, New Order-era collection Mencari Islam (Looking for Islam, 1990). This more recent volume was comprised of a series of personal histories by young Muslim writers, born in the 1960s, who authored lives deeply shaped by the Soeharto regime's heavy-handed religion and patriotic culture policies. Along the way, while covering this eighty-year span of time, anthropologist and student of literature C. W. Watson considers a mix of famous and lesser-known autobiographies, taking each as a text actively caught up in large social processes of Indonesian nationalism and narration. After his chapter on Kartini's letters (written to a Dutch acquaintance, and not so much about Indonesia per se as


Rabu, 01 April 2009

Dialektika Aktor Sejarah Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham

Tan Malaka adalah “flamboyan-miskin” yang sangat rasional. Bacalah “Magnum Opumnya” Madilog. Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim. Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi).

Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam. Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob (Tentang Biografi beberapa nama ulama ini : lihat Link-Personal Blog/Ulama Minangkabau : Personal Research)
Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan. Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda).

(Kahin (2005) mengatakan bahwa Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari. Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau. Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya. Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek   Mereka bukan berada di UMNO, partai kanan (Prof. Saefullah, 2005). Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis- demokrat, nasionalis kiri, dan komunis. Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat.

Islam Menyentuh Mesir

Oleh : Muhammad Ilham

Islam menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis - yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria. Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula. Mesir baru menjadi pusat kekuasaan -dan juga peradaban Muslim-baru pada akhir Abad 10. Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi'ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah -dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi'ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota. Di dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar (dari "Al-Zahra", nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini. Muiz dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan.

Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad. Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena "melihat". Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata. Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah. Salahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun.

Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak (Mamluk). Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah. Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat diangkatnya. Di saat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali -anak Aybak-mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah -yang telah dihancurkan Hulagu di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London di saat yang sama. Ibnu Batutah tak hanya mengagumi 'rihlah', tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan "gratis".

Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: "mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir." Pusat peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol. Pada ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada 1498, mereka "menemukan" Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk tersebut.